BATAL MENCARI MENCARI KERJA

997

WONOSARI, Kamis Wage – Dua remaja kakak beradik, berasal dari pelosok desa  terpencil nekad pergi ke Jakarta. Mereka berdua ingin mencari pekerjaan. Alasannya, mendengar cerita, Jakarta itu simbol kota moderen di Indonesia, sementara Gubernur Anies Baswedan sedang gencar membuka lapangan kerja baru.

Prototipe dua remaja dari udik ini bukan termasuk generasi bodoh, mereka hanya sedikit blo-on, atau lebih tepatnya mereka tidak memiliki kesadaran. Selepas desanya dihantam banjir niatnya kuat merantau cari duit untuk membangun rumah yang porak poranda.

Belum menemukan lapangan kerja yang ditawarkan Pak Gubernur, mereka melihat bangunan menjulang tinggi, di puncaknya ada emas murni (tugu Monas). Kedua remaja tersebut terheran-heran. Dalam tulisan ini saya memanfaatkan sebagian isi pengajian Kyai Haji Bardan.

“Kang, mendirikan tugu setinggi itu caranya gimana ya. Tukang-tukangnya apa nggak singunen ya (adrenalin, keluar keringat dingin),” tanya si adik, bengong, (30/11).

Kakak menjawab kalem, bahwa itu hal biasa, sebagaimana warga desa membuat bangungan serupa.

“Ya pakai tiang bambulah, disambung-sambung. Koyo ngono kok mbok takokne,” jawab kakak sok tahu.

Mereka meneruskan perjalanan, tetapi belum juga menemukan pekerjaan yang menurut surat kabar dan televisi disediakan Gubernur Anies.

Yang mereka temukan malah ratusan gedung bertingkat, berdinding kaca. Di pintu utama tertulis kata OPEN.

“Ow, gedung-gedung di Jakarta itu namanya sama, semua OPEN. Kalau OPENnya segede itu, lalu rotinya berapa besar ya Kang,” tanya adik.

Sang kakak tidak menggubris. Matanya jalang mencari pekerjaaan yang dijanjikan Gubernur Jakarta.

Astagfirullah, ujar adik setengah berteriak, karena melihat warga bule masuk gedung melalui pintu bertuliskan OPEN. Dia berkeyakinan si bule bakal menjadi roti.

Semenit kemudian, seorang negro, keluar dari pintu OPEN. Dia menyangka, si bule yang kulitnya putih, berubah menjadi gosong.

Adik yang blo-onnya tidak ketulungan sempat berkesimpulan, pemandangan kota Jakarta sangat mengerikan. Dia memutuskan untuk pulang ke desa.

Kakak adik berpandangan, banjir yang selama ini mereka sandang tak sekejam gedung OPEN yang mereka saksikan.

Mereka pulang, dengan niat baja menjumputi puing-puing rumah yang hancur diterjang banjir untuk direkonstruksi ulang, tanpa merengek meminta bantuan.

 

Penulis: Bambang Wahyu Widayadi




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.