Melihat cantiknya sontekan bola Daniel Alves kala memberikan umpan matang yang diteruskan Gonzalo Higuain untuk membawa keunggulan Juventus mengalahkan AS Monaco dalam semi final Liga Champions Eropa pekan lalu, ingin rasanya hal sejenis terjadi di sepakbola Indonesia.
Apa yang terjadi? Sportifitas olahraga di Indonesia dinodai ulah baik pemain maupun suporter sepakbola yang sangat memuakan. Lihat, betapa brutalnya pemain sepakbola Indonesia. Berani berbuat, berani bertanggungjawab. Kira-kira begitu ungkapan yang tepat dialamatkan kepada Abduh Lestaluhu saat ini.
Pemain PS TNI itu harus menerima konsekuensi dari perbuatannya setelah melancarkan bogem mentah kepada striker Bhayangkara FC Thiago Furtuoso dalam pertandingan Gojek Traveloka Liga 1 pekan lalu. Alhasil, Abduh dijatuhi hukuman oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI berupa larangan bermain sebanyak lima laga dan denda sebesar Rp 10.000.000.
Sementara, rekan satu klub Abduh, Manahati Lestusen hanya diberikan sanksi berupa peringatan keras menantang wasit untuk memberikannya kartu. Manahati mendapat kartu merah saat PS TNI bertemu Bhayangkara FC. Ini baru sedikit contoh tidak disiplinnya pemain sepakbola Indonesia.
Terus apa prestasi yang sudah diraih Timnas PSSI selama ini ? Jangankan untuk masuk kancah sepakbola kelas dunia, sedangkan menjuarai Piala AFF (Asean Footbal Federation) saja selalu gagal. Kalah kita dalam hal prestasi dengan negeri tetangga Malaysia. Bahkan menghadapi negara kecil seperti Singapura saja kita kelimpungan, apalagi mengalahkan Thailand yang memang rajanya ASEAN di bidang sepakbola. Prestasi kita adalah kisruh bentrok dan perselisihan yang tak berujung, Baik itu di induk PSSI maupun level klub. Jadi jangan harap bisa meraih prestasi membanggakan.
Ulah suporter sepakbola Indonesia bahkan makin tidak terkendali. Telah memasuki fase darurat suporter. Sebagian kelompok nyata-nyata dipimpin oleh preman. Sering menyulut kericuhan, kekerasan anarkhis di sepanjang perjalanan. Mencegat kendaraan suporter klub lawan, sampai merusak angkutan umum baik itu bus hingga kereta-api. Memukul dengan senjata tajam, melempar batu dan membunuh suporter klub lawan, menjadi salah satu tujuan. Sudah banyak korban harta dan jiwa.
Diperlukan pembinaan lebih keras oleh aparat keamanan. Metode dan alat pengamanan harus dipersiapkan bagai menghadapi demo anarkhis. Sehingga perjalanan kelompok suporter mesti dikawal sejak beberapa kilometer sebelum stadion. Begitu pula pada tribun penonton dalam stadion mesti dipasang alat cctv (kamera intai). CCTV diperlukan untuk pembinaan (dan penegakan hukum) terhadap ulah suporter jahat.
Tragedi kebrutalan terakhir terjadi pada pertandingan antara Persiba Bantul melawan Persis Solo. Kerusuhan di jalan pasca pertandingan membuat anggota Polres Gunungkidul terluka. Suporter asal Bantul gentayangan mengejar Pasopati, pendukung setia Persis Solo hingga ke Gunungkidul. Mereka berbuat anarkhis, melempari polisi dengan batu bahkan tak segan membakar sepeda motor inventaris polisi.
Diakui atau tidak, tiada klub sepakbola tanpa suporter. Hidup-mati klub ditentukan oleh geliat suporter. Di Eropa, klub paling profesional pun akan “mati” manakala ditinggalkan suporter. Penghasilan klub, bergantung pada suporter. Selain tiket masuk yang mahal, juga penjualan berbagai jersey klub. Serta pembayaran hak tayang siar televisi dan radio. Seluruhnya berbasis “kantong” suporter.
Suporter memiliki tipe psikologis kegilaan fanatik dan emosional. Fanatisme suporter terhadap klub dan pemain, nyaris tak terukur. Jika ditemukan dengan klub atau pemain idola, suporter akan seperti kumpulan “bebek” yang mengikuti perilaku bebek terdepan. Karena itu diperlukan manajemen “angon” suporter, agar tidak berdampak merugikan.
Namun, beberapa klub memilih cara “angon” tidak sehat. Diantaranya, men-subsidi harga tiket sampai meng-gratis-kan kalau perlu.
Padahal, angon suporter bisa dilakukan dengan cara elegan oleh manajemen klub. Misalnya, mengkoordinir suporter. Termasuk penjualan tiket masuk, sebesar-besarnya sampai 80% dilakukan berimbang untuk kedua klub. Bilamana perlu, dibedakan dengan warna tiket. Pintu masuk juga dipisah berdasar warna tiket. Yel-yel, seyogianya dipimpin oleh seorang “dirijen.” Seperti dilakukan kelompok suporter Aremania di dalam stadion. Namun di luar stadion, banyak suporter lain merusak kendaraan mobil pribadi ber-plat nomor “musuh.”
Gara-gara ulah suporter anarkhis itu, Komdis PSSI menjatuhkan hukuman kepada Panitia Pelaksana (Panpel) Pertandingan Persegres Gresik United dengan denda Rp. 25.000.000. Denda itu diberikan sehubungan dengan perilaku suporter Persegres yang melakukan pelemparan ke bus yang ditumpangi pemain Semen Padang seusai pertandingan kedua tim pada 21 April lalu. Aksi itu sempat melukai pemain “Kabau Sirah” yakni Riko Panjaitan.
Hukuman berupa denda uang juga dijatuhkan kepada Panpel Bhayangkara FC Sebesar Rp. 10.000.000 karena penonton melakukan pelemparan ke arah bench PS TNI. Sementara, Panpel Persib Bandung dikenakan sanksi denda Rp. 10.000.000 karena penonton menyalakan flare. Sedangkan, Panpel Persiba Balikpapan juga dikenakan sanksi denda Rp. 10.000.000 karena penonton masuk dan memadati sampai ke sentel ban.
Sudah beberapa kali ulah suporter menyebabkan kerugian. Juga memalukan, karena terjadi pada event internasional. Ingat misalnya, ketika laga melawan kesebelasan Arab Saudi di Jakarta. Suporter menyalakan petasan, melempar botol air mineral ke arah suporter Arab Saudi. Aksi anarkhis ini memicu denda sebesar US$ 10 ribu, plus tambahan denda US$ 5 ribu.
Denda itu merupakan pelajaran berharga, agar suporter tidak berlaku anarkhis, terutama pada laga internasional. Jika anarkhisme suporter tetap terjadi, terutama di dalam arena, maka dipastikan tidak akan ada kesebelasan luar negeri yang bersedia bertanding di Indonesia. Akan sangat merugikan, sekaligus memalukan.
Tetapi yang paling memalukan, adalah pengerahan suporter sebagai mesin politik. Masih banyak klub sangat bergantung pada APBD melalui jalur non resmi, direstui oleh Kepala Daerah. Beberapa kisah sukses klub menjadi juara liga nasional, karena disokong anggaran daerah. Ini, nyata-nyata KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme). Klub dan perserikatan yang telah bertanding pada even profesional, seharusnya telah disapih dari kas daerah.
Ini petuah dari sang mega-bintang sepakbola Diego Maradona: “Sepakbola jangan dicampur dengan politik.” Sulitnya di Indonesia, politik telah menjadi induk pengasuh sepakbola! Red