TANGERANG SELATAN, Senin Legi – Halal bil halal diciptakan oleh seorang kyai Nahdatul Ulama sekitar tahun 1950-an. Acara maaf memaafkan digunakan Bung Karno untuk membangun rekonsiliasi bangsa. Pasalnya, kala itu para ketua partai politik cenderung gontok-gontokan.
Hal di atas terungkap dalam pengajian yang diselenggarakan warga asal Kecamatan Semanu, Gunungkidul yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Pragak (IKBP) di di Saung Kakap, Jalan Raya Puspiptek Tangerang Selatan 9/7/17. Gus Arifin, secara historis, mengupas makna halal bil halal.
“Bung Karno pusing karena ulah para pentholan partai. Kiyai Wahab Abdullah menyarankan, agar para ketua partai diajak berkumpul. Agenda utama bukan rekonsiliasi, tetapi halal bil halal. Dijamin mereka mau datang karena belum pernah mendengar istilah tersebut,” ujar Gus Arifin di seperempat ceramahnya.
Sejarah bangsa, menurut Gus Arifin dinodai oleh tradisi saling ejek, bukan saling ajak,padahal manusia itu diciptakan dari bahan baku yang sama dengan genting.
“Perhatikan tuh genting, saling rangkul, saling bergandengan, sehingga kehadirannya bermanfaat, menaungi orang seisi rumah,” tunjuknya mengambil contoh.
Sejak tahun 1950-an itulah halal bil halal dijadikan tradisi saling memaafkan, selepas hari raya Iedul Fitri di kalangan umat Islam.
Di negeri Unta, tambah Gus Arifin, tidak pernah dilakukan, karena memang tidak ditemukan hadist yang menganjurkan hal itu. Halal bil Halal merupakan tradisi asli bangsa Indonesia.
Hadir dalam acara halal bil halal keluarga Pragak, di samping Sukardi selaku Ketua Paguyuban, juga Benyamin Sudarmadi, mantan Ketua IKG.
Reporter: Maretha