Menyalakan Kembali Cahaya Cinta Rasul

242
Oleh: Ummafidz

Di setiap bulan Rabiul Awal, langit rohani umat Islam dipenuhi cahaya syukur. Sebuah cahaya yang berpangkal dari peristiwa agung: kelahiran seorang manusia pilihan, Muhammad bin Abdullah ﷺ, sang kekasih Allah yang menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Kehadiran beliau bagaikan fajar yang memecah gulita. Dunia kala itu diliputi kegelapan jahiliyah—ketidakadilan, keserakahan, pertumpahan darah, dan penyembahan berhala. Di tengah kelam itulah, seorang bayi mungil lahir dari rahim Aminah, ditemani lantunan doa malaikat dan getaran rahmat yang kelak menjangkau seluruh penjuru bumi.

Maulid Nabi bukan sekadar peringatan kalender tahunan. Ia adalah nyala syukur atas nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah kepada manusia: diutusnya seorang Rasul yang menunjukkan jalan keselamatan. Tanpa beliau, kita akan tetap terombang-ambing dalam gelap.

Allah berfirman: “Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika Allah mengutus seorang Rasul di antara mereka dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran: 164)

Maka, memperingati Maulid berarti meneguhkan kembali rasa syukur itu. Rasa syukur yang diwujudkan dengan menebarkan shalawat, menghidupkan kajian sirah nabawiyah, serta meneladani jejak beliau.

Nabi Muhammad ﷺ tidak hanya menjadi penyampai wahyu, tetapi juga teladan hidup yang nyata. Senyumnya adalah kasih, kata-katanya adalah nasihat, dan langkahnya adalah dakwah. Beliau digambarkan oleh Aisyah RA: “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.”

Saat lapar, beliau tetap berbagi. Saat dicaci, beliau memaafkan. Saat berkuasa, beliau tidak sombong. Dan saat berdoa, yang beliau sebut bukan hanya umat yang hidup sezaman, tetapi juga kita—umat yang lahir berabad-abad setelahnya.

Maulid adalah undangan bagi hati kita untuk bercermin: sejauh mana kita meneladani beliau dalam kehidupan modern yang penuh riuh dan godaan ini? Apakah kita masih menyimpan kejujuran di tengah arus kepalsuan? Apakah kita masih menebarkan kasih sayang di tengah dunia yang semakin keras?

Cinta kepada Rasulullah adalah syarat iman. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari-Muslim).

Maka, Maulid adalah momen memperbarui janji cinta itu. Bukan cinta yang berhenti pada lisan, melainkan cinta yang melahirkan amal: memperbanyak shalawat, menjaga sunnah, dan menyebarkan akhlak mulia.

Dalam setiap shalawat yang kita lantunkan, sesungguhnya kita sedang mengetuk pintu cinta Rasul. Dan dalam setiap amal kebaikan yang kita lakukan, sejatinya kita sedang menorehkan bukti cinta kepada beliau.

Maulid juga memupuk kebersamaan. Peringatan ini biasanya dilakukan secara berjamaah: membaca shalawat, mendengarkan tausiyah, dan bersedekah bersama. Semua itu mengikat hati-hati yang berbeda menjadi satu dalam cinta Rasul.

Bukankah Rasulullah pernah bersabda: “Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta, kasih sayang, dan empati mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim).

Di tengah dunia yang terkoyak oleh perpecahan dan egoisme, Maulid mengingatkan kita bahwa umat ini hanya akan kuat bila bersatu di bawah panji cinta Rasulullah.

Namun, Maulid tidak boleh berhenti sebagai perayaan seremonial belaka. Ia harus menjadi perenungan: sudahkah hidup kita mencerminkan ajaran beliau? Sudahkah kita menjaga amanah, berlaku adil, dan menebarkan kasih sayang?

Momentum Maulid adalah ajakan untuk memperbaiki diri, menata hati, dan membangun masyarakat yang berakhlak mulia. Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).

Maka, merayakan Maulid tanpa berusaha memperbaiki akhlak adalah ibarat memuji cahaya matahari tetapi tetap memilih berjalan dalam gelap.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ adalah cahaya yang menuntun kita keluar dari kelalaian. Ia mengingatkan bahwa syukur harus diwujudkan, cinta harus dibuktikan, dan teladan harus dijalani.

Di bulan Maulid ini, mari kita jadikan cinta kepada Rasulullah sebagai energi untuk hidup yang lebih bermakna. Mari kita hadirkan akhlak beliau dalam rumah tangga, pekerjaan, masyarakat, bahkan dalam doa-doa kita yang paling sunyi.

Semoga dengan memperingati Maulid Nabi, Allah menyalakan kembali cahaya cinta Rasul dalam hati kita, sehingga langkah-langkah kita senantiasa diarahkan menuju kebaikan, keselamatan, dan ridha-Nya.

Ikuti infogunungkidul di Facebook, Instagram, dan WA Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaDcLx896H4QJGQ1ZS0v



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.