PLAYEN-SELASA PON | Singkong atau ketela identik sebagai salah satu bahan pangan khas Kabupaten Gunungkidul. Singkong pun sudah biasa diolah jadi nasi Tiwul, ternyata pengolahan singkong bisa dikembangkan ke berbagai produk yang lebih luas lagi.
Seperti yang dilakukan ibu-ibu di Pedukuhan Siyono Wetan, Kalurahan Logandeng, Kapanewon Playen ini, mereka membuat berbagai jenis makanan berbahan dasar tepung ketela atau Mocaf (Modified Cassava Flour).
Suti Rahayu, Kelompok Wanita Tani (KWT) Puji 21 mengatakan, ide pengolahan mocaf berawal pada tahun 2012 silam. Namun, pengolahan baru benar-benar berjalan stabil pada tahun 2015.
“Beberapa kali gagal terus, mulai dari pengolahan bahan sampai pembuatan produknya,” katanya.
Ia mengatakan, kegagalan terjadi karena awalnya semua dikerjakan secara manual. Apalagi saat itu para ibu dalam KWT tersebut belum memahami sepenuhnya bagaimana cara mengolah mocaf yang benar. Tak putus asa, mereka pun mengikuti berbagai pelatihan hingga meminta bantuan ke sejumlah instansi terkait. Hasilnya, berbagai dukungan pun diberikan.
Menurutnya, dari yang awalnya mengolah hanya dengan tangan, kini pengolahan banyak dengan mesin. Selain prosesnya jadi lebih cepat, seluruh bahan pun bisa terpakai.
“Awalnya banyak yang terbuang sampai basi. Akhirnya terus dicoba mencari cara yang efisien serta bisa lebih tahan lama,” ujarnya.
Adapun produk unggulan dari KWT Puji 21 adalah beras dan mi berbahan mocaf. Beras dibuat dengan campuran tepung jagung, sedangkan mi dengan tepung terigu. Namun proses yang dilewati hampir sama persis. Ratusan kilo singkong yang dibeli dari petani difermentasi, dicuci, dan digiling hingga jadi tepung. Barulah dari tepung tersebut diolah menjadi berbagai bentuk makanan.
Kemudian bahan itu diolah, dikukus, dan dijemut hingga kering. Produk mi menghabiskan waktu 2 hari hingga kering, sedangkan beras mocaf cukup dikeringkan selama seharian.
“Berasnya kami buat 7 varian, kalau mi sampai 12 varian rasa dengan pewarna alami,” jelas Suti.
Beras dijual dengan harga Rp 14 ribu per setengah kilo dan Rp 20 ribu per kilogram. Sedangkan mi mulai dari Rp 3.200,00 hingga Rp 4.000,00 per bungkusnya. Selain kerjasama, penjualan juga dilakukan secara online.
Suti menambahkan, penjualan produknya kini sudah mencapai luar Pulau Jawa. Kendati begitu, ia mengaku masih ada kendala dalam hal pemasaran, mengingat ongkos kirim yang lebih tinggi ketimbang harga jualnya.
“Beruntungnya kami banyak dibantu juga untuk pemasaran itu, supaya tetap lancar,” katanya.
Meski ada penurunan omset karena pandemi COVID-19, Suti mengatakan hingga saat ini produknya masih tetap mampu terjual. Sebab sudah didukung dengan sistem online. Ke depannya, ia berencana mengembangkan lagi produk yang dibuat dari mocaf. Salah satunya membuat mi dengan campuran tepung tempe dan tepung ikan.
“Warga sekitar kini juga ikut merasakan manfaat dari pengolahan mocaf ini, karena bisa diolah dari rumah,” ujar Suti. (Heri)