‘BIBIT BEBET BOBOT’ MENGHADANG DEMOKRASI LIBERAL

871

Ki Hadjar Dewantoro pada bulan Juli 1937 memaparkan terminologi ‘Bibit Bebet Bobot’ untuk memperbaiki keturunan. Penjabarannya jika orang tua mau mencarikan jodoh anaknya harus mempertimbangkan tiga hal tersebut.

Dalam buku Serial Kebudayaan halaman 32, Bapak pendidikan nasional itu menulis, bahwa yang dimaksud dengan bibit adalah calon mempelai baik laki-laki maupun perempuan harus sehat jasmani dan rohani.

Selanjutnya yang dimaksud dengan bebet adalah calon pengantin harus berasal dari keturunan orang baik-baik.

Fatwa ketiga bobot artinya ialah orang mencari bakal suami atau istri tidak boleh sembarangan, akan tetapi harus mencari calon yang berat, berisi, berbudi pekerti, yaitu yang bernilai baik menurut ukuran agama.

Terminologi yang ditulis Ki Hadjar Dewantoro, hingga kini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Jawa.

Tidak dipungkiri bahwa sekarang fatwa tersebut mulai diadopsi, ketika bangsa ini mencari bakal calon seorang pemimpin.

Sebagian besar bakal calon pemilih presiden tahun 2024 mempertimbangkan kategori seperti digambarkan oleh Ki Hadjar Dewantoro.

Mulai ditawarkan sejumlah nama bakal calon presiden, bahkan sudah ada partai politik yang memproklamirkan diri mengusung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Masyarakat Indonesia mulai mencermati fatwa bibit bebet dan bobot, layaknya mereka mau mencari menantu.

Sejumlah partai politik telah menentukan kriteria semacam apa bakal calon presiden yang mau mereka usung.

Tidak bisa dipandang remeh, rakyat pun semakin pintar dan cerdas dalam memilih siapa yang pantas menjadi pemimpin di negeri ini.

Tidak dipungkiri bahwa demokrasi transaksional masih terjadi. Tetapi tu hanya berlaku di kalangan masyarakat yang memburu rezeki sesat, yang penting hari ini bisa makan membeli rokok dan pulza.

Golongan seperti itu jumlahnya masih banyak tetapi generasi yang memiliki idealisme juga tidak sedikit.

(Bambang Wahyu)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.