WONOSARI-Jumat Legi-Manusia diciptakan berbeda bangsa, berbeda suku, bahkan berbeda agama adalah untuk saling berkenalan, bukan saling bermusuhan. Sebagian besar penduduk bumi justru terbalik pemahaman. Kehadiran manusia di bumi diterjemahkan untuk saling hina, saling ejek, dan saling benci. Sepesifik Indonesia, pemahaman yang keliru itu terjadi di media sosial seperti facebook, istagram, twiter, dan sejenisnya.
Padahal, jauh sebelum ditemukan dan digunakannya media sosial, orang Jawa telah memprediksi bakal terjadi model komunikasi melalui dua idiom populer: “cedhak tanpa sengolan adoh tanpa wangenan” (dekat tak bersinggungan, jauh tanpa batas), serta “lempoh ngideri jagat” (tidak bisa berjalan, namun mampu melanglang buana).
Dua ungkapan di atas hidup menyatu beratus-ratus tahun lamanya. Saat ini, orang merasakan, bahwa idiom Jawa bukan hanya sebatas prediksi, tetapi nyata menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
Sayangnya, penemuan revolusioner teknologi komunikasi tersebut, kini dijadikan ajang perang urat syaraf, terutama menjelang pesta demokrasi seperti pilkada 2018, serta pileg dan pilpres 2019.
Kini, peradaban manusia memasuki tahap dunia tanpa sekat. Terbukti, bahwa orang tidak bisa berjalan pun, mampu melanglang buana, dengan menggunakan wahana media sosial. Berkomunikasi di dunia tanpa dinding, dirasakan sangat dekat tanpa bersinggungan, sekalidus sangat jauh tanpa batas.
Kemajuan teknologi komunikasi yang sedemikian canggih, seharusnya diposisikan sebagai piranti untuk saling mengenal. Fakta berbicara lain, tanda pagar (tagar) #2019 Ganti Presiden perang hebat dengan #Jokowi Dua Periode.
Yang terjadi tidak sekedar perang kos di level darat, di medsos pun terjadi perang opini. Pendukung Prabowo 100% membenci Jokowi, pendukung Jokowi 100% membenci Prabowo.
Suhu politik yang semakin panas membuat kedua belah pihak kehilangan akal sehat. Mereka lupa, bahwa kubu Prabowo dan Jokowi sejatinya adalah bersaudara.
Dua kubu yang saling berhadapan susah untuk diajak berfikir jernih. Perang yang mereka lakukan tidak sedikit pun bermanfaat bagi jutaan rakyat miskin. Yang menerima kue instan justru media televisi swasta. Adu mulut elit politik yang nyaris memuakkan, disuguhkan setiap hari di berbagai program prime time.
Bangsaku semakin kehilangan kekuatan komunikasi ruwatan ala gunting dan rambut, memotong tanpa menykiti. Bertutur, tanpa merendahkan apalagi menghina lawan bicara. Bambang Wahyu Widayadi