Ketegangan Jendral Vs Mayor Jenderal Soal Penyelesaian Soekarno

676

OLEH sejumlah pihak, Presiden Soekarno dicurigai berbau komunis karena tidak mau membubarkan PKI pasca pemberontakan G-30-S 1965.

Lalu berbuntut rumit. Di tubuh Angkatan Darat terjadi ketegangan antara Jendral Abdul Haris Nasution dengan Mayor Jendral Soeharto.

Nasution menghendaki Soekarno diadili di meja hijau, Soeharto berpandangan lain.

Menjelang meletusnya pemberontakan G-30-S-PKI, di Indonesia ada tiga kekuatan utama.

“Satu, tentara yaitu Angkatan Darat, dua Partai Komunis Indonesia (PKI), tiga Soekarno.”

Demikian penuturan Prof. Dr. Salim Said, dalam paparannya di Video Radio Bravo berdurasi 60 menit lebih.

Menurutnya, tentara jauh sebelum pemberontakan PKI 1965 berada di dalam Partai Golongan Karya (Golkar) yang digagas Soekarno, Soepomo dan Ki Hajar Dewantara.

Tentara, menurut Salim Said telah menjadi kekuatan politik riel, sejak Soekarno menyatakan Dekrit 5 Juli 1959, bahkan sejak tahun 1957. Tentara berpolitik untuk mengimbangi kekuatan PKI, sebab trauma Peristiwa Madiun 18 September 1948.

Nasution Ngotot, Bung Karno harus diadili untuk membuktikan dia terlibat G-30-S PKI atau tidak.

Sebagian ahli berpendapat jika gagasan Nasution tidak ditolak Soeharto, maka fakta hukum akan muncul di meja persidangan.

Tetapi Soeharto kokoh menolak. Mengadili Soekarno berbahaya, sebab, demikian kata Guru Besar Lemhannas itu, pengikut Bung Karno masih cukup banyak.

Sebagai ahli strategi, Soeharto akan menghadapi banyak kesulitan dalam mengendalikan situasi. Soeharto memilih, mengurung Bung Karno menjadi tahanan rumah secara berpindah-pindah.

Berbagai pengamat menilai, ketegangan kala itu bernada aneh. Omongan Jendral dilumpuhkan Mayor Jenderal.

(Bambang Wahyu)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.