WONOSARI, JUMAT KLIWON-Landasan konstitusionil NKRI adalah UUD 1945. Penguasa, siapapun dia, tidak boleh melenceng dari landasan tersebut. Berani melenceng, berarti berbohong. Karena negara berbohong, maka sebagian intelektual yang tergabung dalam forum guru honorer pun berdusta tanpa menyadari, bahwa kedustaan mereka itu tidak pada tempatnya.
Pasal 28 D, ayat 3, UUD 1945 menyatakan, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Rekrutmen CPNS yang dilakukan Pemerintah menjelang Pemilu serentak 17 April 2019 merupakan ajang untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam bidang pemerintahan yang dimaksud. Negara, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Republik Indonesia membuat pembatasan, sehingga tidak semua guru honorer memiliki kesempatan yang sama sebagaimana diamatkan Pasal 28 D ayat 3, UUD 1945.
Forum Honorer Sekolah Negeri (FHSN) Gunungkidul, merespon kebijakan Kementrian Pendidikan RI dengan mogok tidak mengajar selama 16 hari, terhitung dari (15/10) hingga (31/10/18). Keputusan FHSN Gunungkidul merupakan bagian dari dusta yang tidak disadari. Tugas guru, terlepas itu hohorer atau bukan adalah menyampaikan (menyebarkan) ayat/ilmu kepada murid.
Guru yang tergabung di dalam FHSN memilih mogok setengah bulan, identik dengan melalaikan tugas kemanusiaan yang telah disanggupinya, sejak sebelum mereka menjadi guru honorarium. Mereka bersalah? Belum tentu. Secara kondisional, guru honorer tidak diperlakukan dengan wajar oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Landasan hukumnya, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Itu yang termaktub di Pasal 28 D ayat 2 UUD 1945.
Bisa dibayangkan, guru honorer sebulan menerima imbalan Rp 400.000,00. Manusiawikah?
Negara (Penguasa) telah berbohong di dua ayat. Jadi jika FHSN terpaksa harus berdusta dengan cara mogok tidak mengajar, jalan keluarnya cukup jelas. PGRI Gunungkidul mengeluarkan himbauan, tidak akan berefek pada penderitaan Guru honorer. Bambang Wahyu Widayadi