PADA MASA PANDEMI PEREMPUAN MENJINJING TANGGUNG JAWAB MAKIN BERAT

1626

COVID-19 tidak netral gender. perempuan menjadi aktor yang paling rentan mengalami kekerasan serta memikul beban tambah berat karena selain mengerjakan urusan domestik juga ditambah urusan publik dan ekonomi.

Karena keterbatasan akses pelayanan dasar, infrastruktur teknologi informasi, akses sumber daya ekonomi dan pendidikan, beban perempuan desa lebih berat dibanding perempuan di perkotaan.

Perempuan desa berpotensi mengalami kekerasan lebih tinggi daripada perempuan di perkotaan.

Dalam konteks bencana, peran-peran baru yang dipikul perempuan biasanya datang tanpa mengurangi tanggung jawab yang sudah ada.

Ini terjadi karena tanggungjawab tambahan yang diberikan kepada perempuan dibangun di atas kerentanan pra-bencana.

Beban gender itu sudah tidak adil ditambah dampak tambahan yang ditanggung yang mungkin akan melampaui penyelesaian bencana pandemi saat ini.

Di Kabupaten Gunungkidul terjadi kenaikan angka KDRT dan perceraian. Pada masa pandemi Covid-19, Pengadilan Agama mencatat perceraian sebesar 316 pasang rumah tangga pada triwulan pertama tahun 2021.

Artinya 316 perempuan menjadi janda, dan penyebabnya didominasi oleh alasan ekonomi atau nafkah.

Kompleksitas masalah yang dihadapi perempuan memang cukup berat, terlebih perempuan di perdesaan Gunungkidul.

Return migration berkontribusi terhadap penambahan beban ekonomi (produksi), karena laki-laki yang
selama ini berperan dalam mencari nafkah, di masa pandemi banyak yang menjadi korban PHK atau mengalami penurunan pendapatan, sehingga beban tersebut berpindah kepada perempuan.

Tidak sedikit ditemukan fenomena “emak-emak online” yaitu istilah bagi para ibu rumah tangga yang berjualan secara online di media sosial.

Beban pengasuhan dan pendidikan anak bertumpu pada perempuan. Pada masa pandemi kondisi ini semakin berat karena metode sekolah online atau daring, bukan hanya menuntut perempuan memiliki kemampuan akademik, tetapi juga termasuk memikirkan tentang kebutuhan perangkat pendukung metode daring seperti: hand phone dan jaringan internet.

Perempuan desa seperti di Gunungkidul, tingkat pendapatan yang rendah (miskin) dan infrastruktur koneksi internet yang lemah, pastinya memperparah beban perempuan atas peran yang mereka emban.

Terlebih bagi perempuan kepala keluarga dari rumah tangga miskin yang jumlahnya cukup tinggi. Kabupaten Gunungkidul memiliki 21.30%, sudah tentu ini menimbulkan multi kerentanan.

Terkait hal tersebut maka Pemerintah Daerah harus peka dan hadir dalam mengatasi hal ini sebagai wujud perlindungan dan Pemenuhan hak-hak warga utamanya kaum perempuan.

Penulis: Wiwik Widiastuti, S.E, M.M, Wakil Ketua DPRD Gunungkidul




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.