MANUSIA itu tak ubahnya seperti pendulum atau bandul jam. Dia bergerak ke kanan, ke kiri melewati garis tengah. Ada pelajaran berharga, dari penunjuk waktu yang berjalan begitu cepat dan tanpa istirahat.
Kehadiran pendulum menjadi sangat fungsional, begitu pula kehadiran manusia. Tetapi dari milyaran manusia banyak juga yang sangat tidak bermanfaat.
Orang kaya yang sungkan membagikan barang sedikit atas kekayaanya untuk keperluan lingkungan sekitar sebutannya bukan orang kaya. Mereka dianggap menjadi salah satu sumber, bahkan biang kerok ketimpangan sosial.
Mengutip ucapan da’i super kocak asal Semarang, Kyai Supandi, predikat orang kaya gampang berubah. Mereka banyak yang terjerumus dalam sebutan orang pelit, medhit alias cethil dan mbedhidhil.
Kyai Supandi menyatakan, kehadiran orang yang banyak harta tetapi ogah bersedekah disebutnya bahwa datangnya tidak menggenapi, perginya tidak mengganjili. Mereka hadir di tengah masyarakat tetapi sama sekali tidak ada manfaatnya.
Menjadi orang bermanfaat itu sangat mudah. Boleh dicermati itu tetesan embun. Volumenya tidak seberapa, tetapi sanggup menumbuhkan tanaman petani di tengah musim kering.
Menjadi manusia bermanfaat itu tidak harus menjadi hujan atau tidak perlu menunggu kaya terlebih dahulu. Alasannya, tanah dan tetumbuhan ibarat itu masyarakat tidak menuntut terlalu banyak pemberian.
Masyarakat pada hakekatnya hanya butuh sentuhan kemanusiaan saat mereka suka maupun duka. Inilah roh sejati yang banyak disebut sebagai gotong royong.
Pejabat publik banyak mengucapkannya tetapi tidak pintar menerapkannya. Sampai kapanpun negara, daerah, desa dan padukuhan tidak akan mandiri sepanjang pemimpinnya tidak berbakat menjadi embun. (Bambang Wahyu Widayadi)