BERSIH Desa atau Bersih Dusun (Rasul) yang puncaknya ada di acara Kenduri (makan bersama) pengertian kongkretnya tidak pernah dijelaskan.
Di dalam upacara Rasul ada dua, bahkan tiga alam pemikiran yakni mistis, ontologis dan fungsional. Sayangnya tiga alam pikiran tersebut tidak pernah dipahami dengan baik oleh para penyelenggara upacara.
Hari Jum’at, 20-5-2022 diinformasikan Desa Hargosari Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul melaksanakan upacara bersih Desa (Rasul).
Dalam upacara Rasul, pada umunnya banyak terjadi salah paham, atau bahkan bertabur paham yang salah.
Sementara secara etimologis (asal-usul kata) Rasul diserap dari bahasa Arab yang artinya utusan.
Makna itu yang kemudian tercerabut dari tradisi Bersih Desa, sehingga orang moderen tidak lagi bisa memahami hakekat tradisi yang diwariskan oleh para pendahulu.
Dalam Al-Qur’an kata Rasul disebutkan di dalam 64 Surat, tersebar di 341 Ayat, yang artinya utusan.
Bersih Desa yang kemudian lazim disebut Rasul berdasarkan etimologi merupakan sinkretisme Jawa Islam untuk upacara lepas panen.
Terdapat pilihan kata khas Jawa ketika sebelum memandu doa, seorang pinisepuh lokal berikrar,” Sekul suci ulam lembaran menika kagem caos dhahar memule dateng Kanjeng Bagendha Nabi (Rasul).”
Khasanah sekul suci ulam lembaran istilah lain untuk menyebut nasi uduk dan Ingkung, tidak dipahami manusia moderen, terlebih manusia yang menyebut dirinya milenial, bahwa itu adalah upaya sambung batin antara pengikut dan yang diikuti Rasul / Nabi ).
Di sinilah posisi titik kebuntuan pemahaman alam pikiran mistis seperti dipaparkan Prof. Dr. CA Van Peursen dalam buku Strategi Kebudayaan.
Sajian Sekul Suci Ulam Lembaran melukiskan manusia Jawa yang menyatu dengan alam yang disuguhkan kepada Bagendha (Baginda) Nabi junjungannya.
Manusia moderen dan manusia milenial hidup di alam pikiran Ontologis. Artinya mereka tidak lagi menyatu dengan alam, yang secara sengaja mengambil jarak.
Beruntung manusia di alam pikiran funsional menterjemahkan Bersih Desa menjadi manifestasi atas rasa syukur, setelah masa panen.
Meski demikian penjiwaan itu tidak lagi seutuh seperti yang dirasakan oleh warga yang masih akrab dengan alam di alam pikiran ontologis.
Jadi upacara Rasul saat ini telah kehilangan hakekat, tidak lebih dari upacara makan-makan belaka. Rasul telah disalahpahami, bahkan dilaksanakan karena berangkat dari paham yang salah.
Menjadi tugas Pemerintah untuk mengembalikan roh Bersih Desa (Rasul) ke nafas asli, bukan asal-asalan, terlebih jika diboncengi hiburan yang menyerap biaya relatif besar. Ini justru mengaburkan tradisi Rasul. (Bambang Wahyu)