NGLIPAR, Kamis Wage-Kenangan menjadi murid SMP Negeri Kedungpoh tidak mudah Slamet lupakan. Tiga peristiwa dia tuturkan demikian runtut. Lulus SD tahun 1978, Slamet, yang kini menjadi anggota DPRD DIY mendaftar ke SMP Negeri Kedungpoh Nglipar. Dia mengaku, usung meja kursi dari rumah, ditendang dan diempeleng guru. Persaingan masuk SMP vaforit kala itu cukup ketat.
“Alkhamdulillah tidak ada kesulitan,” kata dia (15/03).
SMP Kedungpoh Nglipar merupakan kelas filial (kelas jauh) SMP-1 Wonosari, sehingga urutan kelasnya pun melanjutkan SMP Wonosari, F, G, H. Slamet ingat benar, Kepala sekolah kala itu Soenarno.
Dialah yang mewajibkan murid-murid SMP Kedungpoh membawa meja dan kursi sendiri dengan ukuran yang ditentukan sekolah.
Tiap pagi, dari Padukuhan Nglebak berangkat sekolah berjalan kaki tanpa sepatu, sejauh 6 km menerobos hutan. Tak hanya itu, dia nyunggi bagor (menjinjing bagor di atas kepala) berisi tempe.
Hal itu dilakukan tiap pasaran legi dan pon, Slamet punya berkewajiban, setor tempe ke pedagang pasar. Maklum simboknya adalah pedagang tempe kedelai terkenal di lingkup pasar nglipar dan wotgalih.
“Simbok membuat saya familier dengan tempe kedelai, mulai dari memasak, mencuci di kali Oya, nabur ragi, hingga bungkus-bungkus,” akunya.
Legi dan Pon, Slamet nyunggi tempe ke pasar Nglipar, sementara pasaran pahing dan kliwon ke pasar Wotgalih, tiap libur sekolah.
“Sampai di pasar aku sarapan nasi bungkus lauk daging kambing goreng sebesar ibu jari kaki,” kenang anggota Komisi A DPRD DIY ini.
Seabrek memori menjadi siswa SMP Kedungpoh Nglipar dia bongkar tanpa tedeng aling-aling, mulai dari tiap pagi bawa batu putih untuk urug jurang bagian utara sekolah, hingga perlakuan para guru.
Slamet masuk tim PPPK sekolah. Kala itu ada persiapan lomba di bawah bimbingan dr. Carnel Singh dari India.
Sore hari, Slamet dan tim PPPK kumpul latihan. Dr. Carnel menendang kaki Slamet dari belakang. Dia jatuh karena tidak siap. Timnya bengong, dikira Guru Singh marah.
“Ayo tolong. Mana tandunya, mana spalek dan obat merahnya? Teriak Guru Singh.
Rupanya dia memperlakukan Slamet sebagai contoh korban yang harus ditolong.
Tim PPPK, kala itu sigap menggotong Slamet dengan dragbar dan mebawanya ko tenda posko.
Pengalaman lain adalah perlakuan Guru Saliyo. Menurut Slamet dia cerdas, tegas, dan disiplin, sering pelajaran dimulai dari jam ke enol.
Suatu ketika guru Saliyo membagikan buku paket, siswa diminta menyampuli agar rapi dan tidak rusak.
Hari berikutnya, ketika pelajaran dimulai, semua siswa diminta mengeluarkan buku, diperiksa satu satu sudah disampul atau belum.
Tiba giliran Slamet diperiksa, dia percaya diri, karena buku telah rapi, ditaruh di atas meja.
“Tiba tiba plak, aku ditempelengen, ternyata yang kubawa keliru buku matematika,” kenang Slamet tersipu.
Rumah Slamet berada di tepian sungai Oya, jalan menuju sekolah belum ada jembatan, sehingga tiap pagi dia menyeberang sungai Oya sekalian mandi.
Susahnya jika musim hujan, Oya banjir. Slamet dan konco-konconya musti menunggu air surut.
Tokoh yang mengaku termasuk tidak bodoh tapi juga tidak terlalu pinter ini, menyukai matematika dan biologi. Dia menyatakan kurang sukapada olaraga dan seni.
SMP dia lalui tepat waktu, lulus dengan predikat baik. Berikutnya dia melanjutkan sekolah ke SMA-2 Wonosari.
Agung Sedayu -ig