DALAM Bunga Rampai Manusia Penghuni Bumi terbitan Alumni Bandung Februari 1986 halaman 63 disebutkan, karakter bulan Katelu adalah Bantala Rengka. Artinya tanah retak, tanah pecah atau tanah berongga, karena pengaruh panas matahari.
Petani Desa menyebutnya sebagai lemah nela. Telapak kaki manusia kadang bisa masuk ke dalam tanah yang berongga itu.
Gejala alam menunjukkan hawa panas. Terkait dengan kondisi klimatologi: sinar matahari 72%, lengas udara 60,1%, curah hujan 32,2 mm, dan suhu 27,4 derajaf Celsius.
Rentang waktu atau umur Kalender Pranatamangsa mencatat, bulan Katelu 24 hari, mulai 26 Agustus, berakhir 18 September.
Pada rentang waktu seperti itulah Sri Susuhunan Pakubuwono KE-VII Raja Surakarta memberi pedoman kepada para petani untuk menggarap lahan pertanian Tegal, yang baru selesai panen ketela pohong, kacang, kedelai, kara dan gudhe.
Sambil menjemur gaplek di alam terbuka, petani Gunungkidul mulai sibuk mencangkul, atau membajak lahan guna ditanami padi dan palawija pada tahun berikutnya.
Tidak jarang, bersamaan dengan mencangkul dan mluku (membajak) petani membuang atau menebar pupuk kandang ke Tegal mereka.
Tujuannya satu, agar bumi gembur tidak mengeras karena terlalu banyak dicekoki pupuk kimia buatan pabrik.
Rampung mangsa Katelu berikutnya memasuki bulan atau mangsa Kapat.
Kegiatan para petani beda lagi. Kerja seperti macul, mluku, meratakan tanah dan menyebar pupuk kandang beralih ke tebar gabah (benih padi).
Teknik bisa secara digejik, dilarik maupun disebar secara acak. Ini adalah kegiatan tersendiri dari tradisi bercocok tanam petani Gunungkidul.
Kegiatan yang terbilang unik, yang mungkin tidak pernah dilakukan petani di luar Gunungkidul adalah Ngawu-Awu.
(Bambang Wahyu)