PANCASILA, disebut sebagai ideologi Perdamaian, karena dalam Pembukaan UUD 1945 Indonesia memang dinyatakan ikut melaksanakan ketertiban Dunia.
Pandangan dan sikap empat Presiden mulai dari Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid dan Presiden Joko Widodo terhadap Pancasila memang berbeda.
Bung Karno melakukan internasionalisasi, Suharto menginternalisasi, Adul Rahman Wahid mengimplementasi, sementara Preseden Joko Widodo memilih melakukan sloganisasi.
Lahirnya Pancasila disepakati 1 Juni 1945, walau tanggal tersebut pernah menjadi perdebatan sengit antar sejumlah tokoh nasional.
Soal kelahiran ideologi negara tidak begitu penting, tetapi substansi Pembukaan UUD 1945 itulah yang perlu dijaga.
Di alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 tertulis jelas bahwa Indonesia Ikut melaksanakan ketertiban dunia. Implementasi ini lebih urgen ketimbang sibuk memperdebatkan hari kelahiran Pancasila.
Presiden Soekarno dalam pidato bertajuk Persahabatan, Perdamaian, dan Keadilan Sosial di Antara Bangsa-bangsa berujar, “Adalah keyakinan kita bersama bahwa suatu politik yang bebas merupakan jalan yang paling baik bagi kita masing-masing untuk memberikan suatu sumbangan yang tegas ke arah pemeliharaan perdamaian dan pengurangan ketegangan ketegangan internasional.”
Pidato tersebut Soekarno ucapkan dalam Konferensi Negara-Negara Nonblok Pertama di Beograd, Jum’at Kliwon, 1 September 1961.
Pidato dengan topik Perdamaian Dunia kembali disuarakan pada Konferensi Negara Nonblok Kedua di Kairo diikuti 49 negara peserta dan 11 negara peninjau, Selasa Legi, 6 Oktober 1964.
Jum’at Wage, 30 September 1960, pidato kontroversial Soekarno dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York berjudul Membangun Dunia Kembali membuat Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja dan Menteri Harold Macmillan dari Inggris terkesan.
Atas nama penduduk Indonesia yang pada tahun 1960 berjumlah 92 juta, Bung Karno menyatakan bahwa rakyat Indonesia sedang dirundung masalah.
Ihwal Pemecahan berbagai masalah bangsa, menurut Bung Karno Indonesia perlu kebebasan, tidak ada tekanan dari negara manapun. Gerakan Non-blok dengan demikian merupakan antitesa dari Blok Barat dan Blok Timur.
Bung Karno terinspirasi Kalamullah, bahwa kebajikan itu bukan menghadapkan wajah ke timur atau ke barat, salah satu diantaranya adalah membagikan sebagian harta kepada kerabat. Ini prinsip keadilan sosial serta kemerataan, sebagai pintu masuk ke arah perdamaian abadi.
Bung Karno kala itu mengkritik pedas terhadap kecenderungan negara yang merasa kuat, kemudian berusaha mendominasi.
Berbeda dengan Soeharto. Semasa dia berkuasa secara internal mengarahkan Pancasila sebagai azas tunggal. Sampai kala itu ada gerakan Penataran P4, yang nenurutnya untuk menghindari goncangan yang lebih besar seperti peristiwa 1965.
“Dalam melaksanakan Ketetapan MPR yang ditugaskan kepada saya, segera saya gerakkan pemasyarakatan P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Panca Karsa)” tulis Soeharto dalam Buku Otobiografi halaman 136.
Materi Penataran P4 diperluas, ditambah UUD 1945 serta Garis Besar Haluan Negara.
Menurut Presiden Soeharto, PNS dan ABRI yang memahami Pancasila, UUD 1945, dan GBHN-lah yang dapat mengemban tugas sebagi abdi negara dengan baik.
Soeharto menyatakan, 1,8 juta PNS dan 150 ribu anggota ABRI telah mengikuti Penataran P4.
Beda lagi dengan Presiden berikutnya, tidak begitu gigih mengangkat Pancasila, kecuali Abdul Rahman. Wahid serta Joko Widodo.
Presiden Abdul Rahman Wahid rela keluar dari Istana dengan alasan melindungi segenap bangsa. Begitu sikap seorang Guru Bangsa. Daripada terjadi pertumpahan darah, dengan celana pendek, Gus Dur kembali ke masyarakat. Dia rela. turun dari jabatannya meski tuduhan Bulog Gate Sultan Bolkiah Gate tidak pernah dibuktikan secara hukum.
“Saya turun itu karena urusan politik, bukan masalah hukum,” ucap Gus Dur di kanal YouTube Kick Kendy.
Saat ini dengan penduduk 280 juta, yang dilakukan Presiden Joko Widodo beda dengan yang dilakukan Presiden Soekarno.
Joko Widodo tidak menginternasionalkan Pancasila, tetapi menylogankan Pancasila dalam dirinya dengan statemen,” Saya Indonesia, Saya Pancasila.”
Di tengah kepungan imperialisme moderen yang bebas tanpa batas dalam era globalisasi, Presiden Joko Widodo sengaja membuat benteng semu di tahun 2017.
Dalam Pekan Pancasila, Presiden Joko Widodo melakukan personifikasi bahwa dialah yang paling Pancasilais. Tahun berikutnya gegap gempita Saya Indonesia dan Pancasila redup dan hilang ditelan bumi.
(Bambang Wahyu)