KERACUNAN MBG: ANTARA EMOSI DAN LEMAHNYA PENGAWASAN

916

Oleh: Aris Suryanto, S.Si.T.,M.Kes

SETIDAKNYA 476 siswa SMKN 1 Saptosari dan 186 siswa SMPN Saptosari dilarikan ke fasilitas kesehatan setelah mengalami mual, muntah, dan diare usai menyantap makanan dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG). Korban dirawat di Puskesmas dan RSUD Saptosari.

Peristiwa ini mengguncang masyarakat Gunungkidul. Di tengah kepanikan, Bupati Gunungkidul turun langsung ke lapangan, meninjau Puskesmas, RSUD Saptosari dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Planjan, Kapanewon Saptosari.

Namun, yang menjadi sorotan bukan sekadar upaya penanganan, melainkan reaksi emosional Bupati Gunungkidul yang kemudian disiarkan di banyak media sosial.

Dalam video yang tersebar luas, bupati tampak marah besar kepada pihak pengelola SPPG, dengan menegaskan bahwa “ini menyangkut nyawa anak-anak” dan meminta SPPG mempunyai empati dan bertanggung jawab penuh.

Kemarahan itu mungkin lahir dari rasa tanggung jawab. Namun publik melihat hal lain, kemarahan yang ditampilkan di depan kamera, tanpa diikuti penjelasan sistemik tentang akar persoalan yang sebenarnya.

Faktanya memang SPPG Planjan jarang melakukan koordinasi yang memadai dengan pemerintah daerah, dinas terkait, dan jajarannya. Proses memasak, pengemasan, dan distribusi makanan ke sekolah dilakukan tanpa pelaporan yang jelas kepada Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan maupun pihak Puskesmas.

Akibatnya, ketika terjadi keracunan massal, tidak ada data teknis yang bisa segera ditelusuri, mulai dari waktu masak, suhu penyimpanan, hingga kondisi dapur.

Program Makanan Bergizi Gratis sejatinya adalah langkah positif untuk meningkatkan gizi siswa dan menekan angka stunting. Namun program besar tanpa sistem pengawasan yang kuat justru berpotensi menimbulkan bahaya.

Dalam rantai pengawasan, Dinas Kesehatan seharusnya memiliki peran strategis ikut melakukan verifikasi kelayakan dapur SPPG, memberikan pelatihan higienitas kepada pengelola, serta melakukan pengujian rutin terhadap bahan makanan dan air.

Namun semua itu tidak dilakukan secara memadai. Dinas Kesehatan tampak hanya berfungsi administratif  menyetujui program tanpa memastikan standar kesehatan terpenuhi.

Akibatnya, saat keracunan terjadi, mereka hanya menjadi reaktif, bukan preventif. Di titik inilah kemarahan bupati tidak cukup. Karena yang dibutuhkan bukan kemarahan terhadap pelaksana teknis, tetapi evaluasi terhadap sistem yang dikelola oleh pemerintahannya sendiri.

Ketika bupati memilih memarahi SPPG secara terbuka, pesan yang muncul justru seperti melempar tanggung jawab ke bawah, bukan memperbaiki sistem di atasnya. Padahal, tanpa koordinasi lintas dinas dan tanpa standar operasional prosedur (SOP) pengawasan, tragedi seperti ini hanya menunggu waktu untuk berulang. Yang dibutuhkan bukan tontonan kemarahan, melainkan kepemimpinan yang tenang dan sistematis dalam memperbaiki rantai pengawasan.

Dalam tata kelola pemerintahan, krisis publik menuntut leadership under pressure, kepemimpinan yang mampu menjaga ketenangan, mengambil data, menganalisis sebab, dan merumuskan langkah korektif.

Menunjukkan kemarahan di depan kamera mungkin menciptakan kesan tegas, tetapi juga membuka pertanyaan di mana sistem pengawasan yang seharusnya mencegah hal ini terjadi? Mengapa baru setelah anak-anak keracunan pemerintah bergerak cepat?

Jika puskesmas tidak melakukan monitoring atau jika SPPG tidak melakukan koordinasi, lalu siapa yang seharusnya mengawasi dan memastikan mereka terhubung dengan pemerintah kabupaten?

Di sinilah letak inti persoalan, lemahnya sistem bukan karena kurangnya kemauan, tetapi karena tidak ada sistem pengawasan yang kuat dan berkelanjutan. Keselamatan anak-anak tidak boleh dikorbankan atas nama kelalaian birokrasi.

Dalam krisis, masyarakat tidak membutuhkan tontonan marah, melainkan kepastian bahwa keadaan terkendali. Anak-anak butuh pemimpin yang memastikan makanan mereka aman.

Kemarahan yang ditampilkan di depan publik bisa menimbulkan efek psikologis buruk, menurunkan kepercayaan masyarakat pada institusi, menakut-nakuti SPPG dan menciptakan budaya birokrasi yang reaktif, bukan solutif.

Seharusnya, setelah marah, ada langkah konkret audit internal SPPG, pembinaan ulang tata kelola makanan, pelatihan higienitas dapur, dan pengadaan alat uji cepat untuk setiap SPPG. Tanpa itu semua, kemarahan hanya menjadi retorika yang viral, bukan solusi.

Kasus ini adalah cermin bahwa good governance tidak diukur dari seberapa keras pemimpin menegur, tetapi seberapa baik sistemnya mencegah kesalahan. Bupati harus segera memperkuat sistem pengawasan pangan, memperjelas alur koordinasi antar instansi, dan memastikan setiap dapur MBG diaudit secara berkala.

Karena, keselamatan anak-anak bukan tanggung jawab SPPG semata, tetapi tanggung jawab pemerintah secara keseluruhan.

Program MBG harus terus berjalan, tetapi dengan prinsip kehati-hatian yang ketat memasak di waktu yang tepat, menyimpan di suhu yang benar, mengirim dalam kondisi higienis, dan selalu diawasi oleh petugas kesehatan yang kompeten.

Bupati boleh marah. Wajar. Tapi setelah kemarahan itu, langkah apa yang dilakukan? Apakah alat uji makanan akan segera dilengkapi? Apakah pembinaan dan pengawasan kepada SPPG akan dilakukan secara berkala ? Apakah sistem koordinasi antar instansi akan diperbaiki?

Karena yang diinginkan rakyat bukan amarah, tetapi jaminan keamanan dan tanggung jawab nyata bahwa anak-anak akan mendapatkan makanan yang bergizi dan aman.

Ikuti infogunungkidul di Facebook, Instagram, dan WA Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaDcLx896H4QJGQ1ZS0v



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.