ORANG sakit, terlebih orang yang meninggal karena Covid-19 saat ini secara terang-terangan dihindari. Gotong royong, porak poranda, saling sapa berantakan, individualisme menajam.
Peristiwa memprihatinkan terjadi di Padukuhan X, Kalurahan Y, Kapanewon Z Kabupaten Gunungkidul 3-8-2021.
Pasien sesak nafas melalui keluarga meminta tolong kepada tetangga sebelah untuk diantar ke rumah sakit.
Secara halus tetangga itu menolak dengan alasan mobil sedang dalam perbaikan, padahal sejam yang lalu mobil tersebut baru saja tiba dari pasar.
Gotong royong bernilai kemanusiaan rontok sudah karena ketakutan terhadap Covid-19.
Sebentar lagi tak sedikit warga yang kekurangan bahan pangan, terutama para pekerja kategori harian.
Ibarat ayam, cari pagi dimakan pagi, cari sore dimakan sore. Keluarga tipe begini tidak ada dalam catatan pemerintah termasuk tidak memperoleh kucuran bantuan sembako.
Boleh jadi tetangga sebelah pun tidak kepikiran berbagi, karena sama-sama tidak memiliki cadangan pangan.
Solidaritas akan menyempit jika bahan pangan benar-benar langka seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an.
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan,” Al-Baqarah Ayat 155.
Sejak 2 Maret 2020 hingga 2 Agustus 2021 dan entah sampai kapan, Indonesia diuji tanpa henti.
Presiden Joko Widodo mulai menyebut bahwa pandemi Covid-19 merupakan ujian berat, padahal sebelumnya dia tidak pernah berucap demikian.
Ketakutan akan pandemi berseberangan dengan nilai kemanusiaan. Umat Islam akan terseret arus individualisme layaknya di hidup di padang Mahsyar. Semua memburu kepentingan untuk menyelamatkan diri.
Mengatasi masa sulit tidak ada cara lain kecuali sambat dengan ibu bumi, meninggalkan budaya beli barang-barang instan.
Daun kemangi, pepaya, kenikir, bayam sembukan hingga daun melinjo dan daun kelor adalah hijauan sehat tanpa efek samping. Itu harus dipersiapkan sebelum pangan benar-benar langka.
Sangat mengerikan jika banyak warga meninggal bukan karena sakit, tetapi karena klingsir alias mati karena tidak makan.
Sementara itu para pejabat negara masih bisa berpesta di mana mereka suka. Di hotel mewah dengan anggaran yang memang didesain untuk mencukupi keperluan itu. (Bambang Wahyu)