DALAM dunia pakeliran, Ki Dalang membuat perumpamaan, suatu obyek disebut seperti daun sirih. Maknanya, dilihat sekilas beda rupa, tetapi ketika digigit tunggal rasa.
Hal itu berlaku untuk kolusi dan nepotisme. Oleh UUD 1945 bahkan diberi peluang. Pasal 27 Ayat 2 konstitusi negara menjadi pembenar, bahwa penguasa melakukan nepotisme. Dan tidak bisa diseret ke meja hukum
Dihimpun dari berbagai sumber, kolusi dan nepotisme (KN) dari era Orde Baru hingga era Orde Reformasi terus merajalela. Pemerintah gagal menghentikannya.
Pada masa rezim Orde Lama KN telah terjadi. Menurut Syed Hussein Alatas, bahkan tidak hanya KN tetapi KKN.
Awalnya dimulai dari kalangan oknum militer, yang kemudian hilang tak terjamah hukum karena pelakunya kabur ke luar negeri.
Bos KKN kala itu adalah oknum militer berpangkat Brigadir Jendral. Dia memerintah anak buah untuk mensuplai senjata api kepada yang memerlukan. Hasilnya dibagi-bagi. Kala itu, anak buah diberi insentif Rp 10 hingga Rp 15 ribu sebulan.
KKN merupakan masalah yang dialami oleh setiap negara di dunia, ujar Dra. Sri Mastuti Purwaningsih, M. Hum mahasiswa tingkat doktoral Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya dalam penelitian yang dilakukannya.
Dampak KKN sangat merugikan negara. Oleh sebab itu pemerintah didorong melakukan upaya untuk mengatasinya.
Sri Mastuti sepaham dengan Syed Husen Alatas, bahwa KKN di Indonesia, sudah ada sejak era Orde Lama.
Penyebabnya antara lain tulis Sri Masruri, karena ada monopoli kekuasaan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan.
KKN di Indonesia, dari era Orde Lama hingga Orde Reformasi menjadi problem negara, karena berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Upaya yang dilakukan Orde Lama Orde Baru hingga Orde Reformasi dalam mengatasi KKN menurut Sri Masruti dengan membuat undang-undang anti korupsi serta membentuk badan-badan anti korupsi. Di Indonesia seperti dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Soeharto memimpin Orde Baru selama 32 tahun ditumbangkan oleh massa aksi karena KKN-nya sangat keterlaluan.
Masih segar dalam ingatan rakyat, bahwa Soeharto membiarkan anak-anaknya melakukan berbagai bisnis, sehingga Iwan Fals menciptakan lagu bertajuk BENTO. Dalam lagu Iwan, anak Soeharto bilang,” bebas menjagal apa saja yang penting aku senang”.
Anak perempuan Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana pada periode terakhir kekuasaannya oleh Soeharto diangkat menjadi Menteri Sosial.
Pada penampilan pertama, Tutut menbagi- bagi nasi bungkus kepada rakyat tertentu.
Rezim Reformasi pada masa BJ Habibie, Gus Dur dan Megawati, KKN tidak menyolok karena masa kekuasaannya relatif singkat.
Tetapi ketika Susilo Bambang Yudhoyono memimpin dua periode, KKN menggurita. Kader partai Demokrat satu demi satu kejeblos ke hotel prodeo. Tagline katakan tidak pada korupsi, diplesetkan publik menjadi katakan tidak padahal korupsi.
Dalam dunia politik praktis, SBY bahkan terlalu tega mengorbankan anak sulung yang berpangkat mayor, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) keluar dari dinas militer demi membangun kolusi dan dinasti politik. Terbukti, AHY memimpin Partai Demokrat. Digadang dia menjadi Wapres pada kompetisi Pemilu Serentak 14 Februari 2024.
Joko Widodo menyusul. Nepotismenya bahkan dipandang lebih buruk dibanding Soeharto.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, sekaligus analis politik, Pangi Syarwi Chaniago menyatakan, syahwat politik Joko Widodo lebih besar, seperti diangkat media nasional baru-baru ini.
Tingkat keparahan nepotisme Presiden Jokowi, tidak bisa ditutupi. Gibran anak sulung Jokowi bisnis martabak yes, menjadi Walikota Solo oke. Termasuk Boby Nasution menggenggam kekuasaan politik di Medan direstui.
Belakangan Kaesang Pangarep diberi angin untuk mencalonkan kepala daerah. Menurut analisis Roky Gerung, Jokowi memaksa Kaesang untuk terjun ke politik praktis.
Mengapa nepotisme? Di dalam konstitusi ada celah, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 Ayat 2).
Joko Widodo menjadi Presiden, anak-anaknya menjadi Walikota atu bahkan Gubernur. Dilihat dari prespektif Pasal 27 Ayat 2, salahnya di mana? Tidak ada yang keliru, hanya tidak etis dan tidak elok.
(Bambang Wahyu)