Mencopot Status Priyayi Tidak Semudah Melepas Baju

1101

NGLIPAR-KAMIS PON | Masyarakat Jawa mengenal struktur sosial yang namanya priyayi. Clifford Geertz telah membedah golongan priyayi dalam desertasi The Religion of Java.

Slamet S.Pd. MM anak seorang Sinder Kehutanan pernah merasakan hidup sebagai seorang priyayi melalui karier politiknya di Partai Golongan Karya menjadi anggota DPRD Gunungkidul, kemudian menjadi Ketua Dewan dan menjadi anggota DPRD DIY.

“Belajar dari pengalaman pribadi, saya pernah menjadi priyayi dan sekarang menjadi petani. Jangan ditanyakan lebih terhormat mana. Yang jelas saya menikmati profesi baru saya menjadi petani, bergumul dengan hal-hal yang kotor namun menghasilkan hal bersih, dan sangat dibutuhkan,” ujar Slamet kepada Media, di Nglebak, Katongan, Nglipar, Gunungkidul, 27-2-2022.

Walau tidak mudah, tetapi dia bangga menjadi petani karena seluruh manusia bergantung dari hasil panen karya petani.

Memang, kata Slamet, menjadi petani bukanlah pilihan profesi yang diidamkan oleh sebagian generasi muda. Mereka lebih memilih profesi sebagai priyayi, padahal jika ditekuni, secara profesional hasilnya tak akan kalah dengan penghasilan seorang priyayi.

Bertani di abad 21 lain dengan abad 19. Menurutnya, sekarang banyak mengandalkan sentuhan teknologi. Dari hulu sampai hilir lebih banyak menggunakan mesin dari pada tenaga manusia, juga banyak rekayasa.

Mengandalkan pertanian dari tenaga kerja di usia 45 tahun ke atas sangatlah tidak menguntungkan, karena produktifitasnya rendah, sementara kebutuhan bahan pangan selalu meningkat.

Dia melihat, pemerintah pusat dan daerah harus mendorong lahirnya para petani muda ( petani milenial ). Petani milenial mempunyai peran sangat penting, karena untuk melanjutkan program pertanian dibutuhkan SDM pertanian yang maju, mandiri dan moderen.

“Dua tahun yang lalu, saya mengawali dengan beternak sapi 2 ekor, untuk pakan sebagian besar beli, baik berupa hijauan dan pabrikan. Kemudian saya lebih banyak mengandalkan youtube sebagai pemandu dalam beternak sapi. Saya menyadari bahwa untuk beternak komponen terbesar adalah pakan ( 70 sampai dengan 80 persen ) dari biaya operasional. Untuk itu saya mulai menanam aneka rumput ( odot, kolonjono, pisang, indigovera dan pakchong ) guna memenuhi pakan sapi,” papar Slamet.

Saat ini dia merasakan nikmatnya piara sapi dengan pakan rumput sendiri di dekat kandang, sehingga pengeluaran hijauan pakan ternak menjadi rendah bahkan nol.

Dalam beternak, Slamet menerapkan konsep bertani tanpa limbah, limbah pakan sapi, kohe sapi untuk pupuk, dan seterusnya.

“Bagi saya ada banyak keuntungan dengan beternak sapi. Yang saya nikmati antara lain keuntungan dari hasil penjualan, pupuk kandang. Lebih dari itu, bisa penenang jiwa, karena senang lihat tananan yang hijau dan subur serta hasil pertanian dan sapi yang gemuk. Walau awal melepas status kepriyayian memang tak semudah melepas baju,” pungkasnya. (Bambang Wahyu)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.