WONOSARI, JUMAT PON-Aturan tentang peredaran minuman berakohol (mihol) sangat tidak adil. Pemerintah tidak berani jujur, penenggak mihol di hotel berbintang dibuat nyaman, sementara penenggak mihol di pos ronda diuber-uber. Penenggak kelas hotel yang mati pasti banyak, bedanya tidak ditulis media seperti yang tewas atau sekarat di cakruk. Membiarkan mihol beredar di Indonesia, berarti Penguasa berpihak kepada Pengusaha.
Mihol hotel dan mihol cakruk nyata menunjukkan adanya perbedaan kelas. Munculnya mihol hotel dan mihol cakruk, yang kemudian lebih ngetren dengan istilah miras oplosan, dimulai dari ketidakadilan aturan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan.
Peraturan Menteri Perdagangan 06/M-DAG/PER/1/2015 melarang penjualan minuman keras di mini market, tetapi tidak mencegah penjualan di kawasan hotel berbintang. Miras hotel dengan miras cakruk, agak berbeda, tetapi efeknya sama-sama merusak organ tubuh peminum.
Pada era Pemerintahan Sukarno, miras produk luar sempat dikenakan cukai melalui Undang-Undang No. 29 Tahun 1947. Menteri Keuangan, AA Maramis menandatangani UU tersebut di Ibukota Yogyakarta 30 Agustus 1947 silam.
Sampai dengan penguasa saat ini, aturan yang berkenaan dengan miras tidak melindungi segenap bangsa, tetapi mengamankan kepentingan investor, eksportir demi cukai, demi devisa negara, mengabaikan melayangnya ribuan nyawa anak bangsa.
Lalu, mati atau sekarat karena menenggak mihol oplosan, ditanggapi secara tidak proporsional. Sebagian orang mencibir, korban mihol tidak perlu ditolong, sebagian yang lain melihat dari sisi melemahnya peradaban manusia.
Di Indonesia, dalam catatan Gerakan Nasional Anti Miras (Genam), mengutip tulisan Arif Usman, SH, MH, setiap tahun jumlah korban meninggal akibat minuman beralkohol mencapai 18.000 orang.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 silam, jumlah pengkonsumsi alkohol seluruh Indonesia mencapai 4,6%, dalam jumlah penduduk saat itu 224.904.900 jiwa.
“Ini berarti ±10.345.625 jiwa pengkonsumsi alkohol. Jumlah terbanyak peminum alkohol adalah usia produktif usia 15-34 yakni 6,7%,” tandas Usman kala itu. (Agung)