WONOSARI, (Jumat Wage)– Naory Hastuti, pengusaha asal Gunungkidul yang kini membuka lahan sayuran bersama suami di Jalan Kaliurang menuturkan pengalanan aneh menjadi pengusaha kecil di Gunungkidul. Dia merasakan agak ribet, mulai dari kurang mendapat suport sosial sampai gaji karyawan yang di bawah UMK.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan, nasib usaha mikro dan menengah (UKM) baru saja berjalan merangkak, proposal mulai numpuk antri mengajukan sumbangan.
“Yang Rasulan lah, yang 17-an lah, dan macam-macam lagi tak terhitung,” ungkap Naory Hastuti (7/6).
Dia mengamati, masyarakat. sekitar kurang toleran alias tidak berkomitmen membantu, supaya UKM menjadi bisa survival (bertahan hidup). “Walau tetangga sebelah membuka toko sederhana, membeli amplop aja pilih ke supermarket,” ujar Naory menunjuk contoh kecil.
Itu belum disoroti dari sisi, bagaimana sikap sementara karyawan UKM. Punya pekerja di Gununfkidul, kata Naory, harus siap makan hati. Fakta agak menyedihkan, soal libur beberpa hari untuk keperluan rasulan, rewang tetangga punya hajat, kerja bakti dan lain-lain, harus selalu disetujui. Karyawan lebih mengutamakan kepentingan sosia, tidak peduli pengusaha mau gulung tikar.
Memang lanjut dia, bukan rahasia lagi bahwa upah minimum kabupaten (UMK) Gunungkidul paling rendah Rp 1.435.000,00. Pun masih banyak karyawan yang dibayar di bawah UMK. Salah siapa?
“Jelas salah kita bersama. Salah kita yang engan berbenah. Salah kita yang terus memanjakan diri engan berubah. Kita tak ingin bersaing dengan orang lain karna kita terlalu nyaman pada situasi berpuluh, bahkan beratus tahun kita kerjakan,” tutup Naory Hartuti. (Bewe)