Perpaduan Peradaban Agraris dengan Maritim Dimungkinkan

518

GUNUNGKIDUL-JUMAT LEGI | Warga Gunungkidul mengenal dunia maritim diperkirakan sejak Sultan Agung berkuasa 1613-1645. Sejarah tertulis memang agak sulit ditemukan, tetapi ada cerita rakyat yang menyajikan gambaran tertentu tentang kemaritiman di Gunungkidul.

Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-10, tahun 2018 mengangkat kemungkinan dipadadukannya peradaban maritim dan agraris dalam konsep ‘dagang layar’.

Cara berfikir masyarakat Gunungkidul perlu diubah. Hidup secara bertani perlu ditransformasikan ke arah perdagangan dan pelayaran. Tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup.

Bergulat dengan dunia pertanian diasumsikan menyedot biaya produksi terlalu besar, berbeda dengan perdagangan dan pelayaran.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-10 terkait dengan visi misi Samudra Hindia harus menjadi halaman depan menekankan betapa pentingnya mengubah cara berpikir masyarakat, dari petani berubah menjadi pedagang dan nelayan.

Fakta geografis, Kabupaten Gunungkidul memiliki bentang pantai sepanjang 71 Km, kata Immawan Wahyudi, saat masih menjabat Wakil Bupati mendampingi Hj. Badingah, S.Sos periode 2015-2020.

Enam kapanewon yang berbatasan dan bersinggungan langsung dengan laut antara lain adalah:
1. Kapanewon Purwosari mencakup lima desa: Girijati, Giriasih, Giricahyo, Giripurwo, Giritirto.
2. Kapanewon Panggang terdiri dari enam desa: Giriharjo, Giriwungu, Girimulyo, Girikarto Girisekar, Girisuko.
3. Kapanewon Saptosari terdiri dari tujuh desa: Krambilsawit, Kanigoro, Planjan, Monggol, Kepek, Nglora, Jetis.
4. Kapanewon Tanjungsari, lima desa: Kemadang, Kemiri, Banjarejo, Ngestirejo, Hargosari.
5. Kapanewon Tepus lima desa: Sidoharjo, Tepus, Purwodadi Giripanggung, Sumberwungu.
6. Girisubo, delapan desa: Balong, Jepitu, Karangawen. Tilrng, Nglindur, Jerukwudel, Pucung, Songbanyu.

Dua akademisi dari Universitas Gajah Mada, Imam Fauzi dan Ir. Gunung Radjiman, M.Sc. dalam penelitian di Desa Kemadang, Kapanewon Tanjungsari menemukan kenyataan bahwa masyarakat tepi laut hidup di dua area, yakni agraris dan maritim. Menurutnya, lingkungan agraris dan maritim sama sama kurang menguntungkan.

Tanah pertanian kurang subur, kata mereka, sementara kondisi laut terlalu ekstrem, sebab gelombang sangat besar dan tidak bersahabat. Untuk itu masyarakat Kemadang mencari peluang lain guna mencukupi keperluan hidup. Kedua peneliti tersebut melihat salah satu peluang adalah pariwisata.

Warga yang tidak melaut bisa mendirikan rumah makan, menyewakan lahan untuk parkir, menjadi pedagan asongan dan yang lain.

Dengan dicanangkannya laut sebagai halaman depan oleh Sultan Jogja, dimaksudkan agar DIY menjadi daerah agraris sekaligus maritim, kemudian meraih kejayaan seperti Kerajaan Sriwijaya tempo hari.

Sasaran utama tentu saja Kelurahan tepi laut, menggunakan istilah Badan Pusat Statistik, yaitu kelurahan yang sebagian atau seluruh wilayahnya bersinggungan langsung dengan laut, baik berupa pantai maupun tebing karang.

Terkait peradaban maritim, Dwijo Sumarto, warga Mendak, Kelurahan Giriekar, Kapanewon Panggang punya cerita.

“Kakek saya urutan ketujuh (istilahnya kakek level: Gantung Siwur) yaitu Ki Panjolo pekerjaannya menjala ikan di tepi laut pesisir selatan,” ujarnya 13-7-2023.

Penangkapan ikan dan organisme air lainnya di alam liar sekarang lumrah disebut teknik perikanan tangkap. Ini berbeda dengan perikanan budidaya.

Sebab kerja utamanya menjala ikan, suatu saat, diperkirakan sekitar tahun 1603, Ki Panjolo dalam jalanya menemukan tigga buah tembikar yang disebut Dwija Sumarto sebagai Cupu.

Benda tersebut sampai saat ini disimpan rapi di Rumah Dwijo Sumarto dengan cara dibungkus ratusan kain mori putih, sumbangan masyarakat.

Setiap Mangsa Kapat, bulan September hari Selasa Kliwon, Cupu dibuka. Masyarakat bebas melihat tanda yang muncul pada kain mori, berkaitan dengan fenomena pertanian setahun ke depan. Tahun 2023, Cupu Panjolo dibuka Selasa Kliwon, 26 September.

Pesan tersirat yang bisa ditangkap dari penemuan Cupu tersebut adalah bahwa ratusan tahun silam warga Gunungkidul telah mengenal peradaban maritim. Masyarakat kala itu belum mengenal konsep dagang layar seperti dicetuskan Sri Sultan Hamengku Buwono Ke-10.

Kemungkinan ke depan perpaduan agraris dan maritim seperti apa, adalah tergantung dari kebijakan Pemerintah Provinsi juga Pemerintah Kabupaten.

Kabar terbaru tentang dunia maritim, nelayan Gunungkidul terdesak oleh nelayan dari luar daerah terutama dari Jawa Barat yang memiliki perahu cukup representatif untuk berburu lobster, terutama Benih Bening Lobster (BBL).

Sebuah media lokal memperkirakan uang trilyunan rupiah lari dari Gunungidul. Laut tidak menjadi halaman depan sebaiknya tetap menjadi halaman belakang dan kekayaan itu banyak dicuri orang.

(Bambang Wahyu)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.