SAAT SEDULUR PAPAT TIDAK LAGI AKUR

816
Oleh : Ummafidz

Di tengah kehidupan yang semakin cepat dan bising, banyak orang merasa lelah tanpa tahu sebabnya. Kita sering sibuk memperbaiki dunia luar, tetapi lupa menengok ke dalam. Dalam kearifan Jawa, keadaan itu disebut sebagai tanda Sedulur Papat-empat kekuatan batin penjaga diri-sedang tidak lagi akur dengan pancer, pusat kesadaran sejati manusia.

Dalam pandangan kosmologi Jawa, manusia bukanlah makhluk yang berdiri sendiri. Ia lahir, hidup, dan mati dalam keterikatan dengan semesta dan kekuatan-kekuatan yang menyertainya.

Salah satu konsep penting yang menggambarkan hal itu adalah ajaran Sedulur Papat Limo Pancer — empat saudara batin yang menjaga manusia, dengan pusatnya adalah diri sejati.

Ajaran ini sudah dikenal sejak masa Mataram Kuno. Dalam naskah-naskah kejawen seperti Serat Centhini dan Suluk Sukarsa, disebut bahwa sejak manusia lahir, ia ditemani oleh empat saudara: Kakang Kawah, Adhi Ari-ari, Getih, dan Puser. Keempatnya disebut sebagai Sedulur Papat, sedangkan diri kita — pancer — adalah pusatnya.

Secara fisik, empat sedulur ini hadir dalam proses kelahiran. Namun secara spiritual, mereka menjadi lambang empat unsur yang membentuk manusia: tanah (bumi), air, api, dan angin.

Sementara, pancer melambangkan jiwa atau kesadaran sejati. Bila keempat unsur itu seimbang, manusia hidup dalam harmoni. Bila salah satunya mendominasi, lahirlah kegelisahan, kemarahan, atau keserakahan.

Dalam konteks sejarah Jawa, ajaran ini mencerminkan pandangan hidup para leluhur yang menekankan keseimbangan antara raga dan jiwa. Raja-raja Mataram seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo dikenal sangat memperhatikan keseimbangan kosmos antara kekuasaan duniawi (wahyu kedhaton) dan restu spiritual (wahyu keprabon).

Dalam doa-doa raja yang tercatat dalam tradisi Suluk Malang Sumirang dan Serat Wedhatama, konsep Sedulur Papat sering hadir sebagai permohonan agar kekuatan penjaga diri tetap menyatu dan melindungi.

Kini, di zaman modern yang penuh hiruk-pikuk digital dan kompetisi tanpa henti, ajaran ini terasa semakin relevan. Banyak dari kita hidup jauh dari “pancer”-nya sendiri. Pikiran tercerai, hati terpecah antara ambisi dan kecemasan.

Dalam bahasa simbolik Jawa, mungkin “sedulur papat” kita sedang tidak akur — unsur api (emosi) membakar terlalu tinggi, atau unsur angin (pikiran) berputar tanpa arah.

Menemukan kembali pancer berarti kembali mengenali pusat kesadaran — siapa diri kita di balik semua peran dan tuntutan. Melalui laku sederhana seperti hening cipta, doa, meditasi, atau refleksi diri, kita belajar mendengarkan kembali bisikan empat sedulur penjaga yang sejatinya ingin menuntun pada keseimbangan.

Sedulur Papat Limo Pancer bukan sekadar mitos, tetapi peta spiritual tentang bagaimana manusia seharusnya hidup: selaras dengan diri, sesama, dan alam. Dalam dunia yang sering membuat manusia kehilangan arah, ajaran leluhur ini mengingatkan bahwa rumah sejati bukanlah tempat di luar sana, melainkan pusat kesadaran yang tenang di dalam diri sendiri — sang pancer itu sendiri.

Ikuti infogunungkidul di Facebook, Instagram, dan WA Channel: https://whatsapp.com/channel/0029VaDcLx896H4QJGQ1ZS0v



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.