Sabtu Legi – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, korupsi merupakan musuh bersama. Karena itu, di depan sidang bersama DPD RI dan DPR RI (16/08), Presiden mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama memerangi korupsi.
Teknis memeranginya seperti apa, tidak disebut secara rinci. Termasuk lapisan rakyat yang mana, juga tidak dijelaskan. Sementara sarang korupsi itu cukup jelas, berpusat di lingkaran eksekutif, legeslatif, yudikatif, ditambah elemen pengusaha besar.
Dari Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo, fakta serta data menunjukan, bahwa pelaku korupsi berada di lingkar penguasa dan pengusaha.
Rakyat biasa mustahil melakukan korupsi, alasannya cukup jelas, mereka tidak memiliki kekuatan (kekusaan) untuk berbuat sebagaimana yang dipertontonkan para pejabat. Kesimpulan saya, mengajak seluruh rakyat untuk memberantas korupsi, itu retorika politik.
Menyerukan agar rakyat bangkit memerangi korupsi adalah ajakan yang salah sasaran. Para koruptor itu bersarang di lingkaran penguasa dan pengusaha, logikanya seruan itu ditujukan kepada mereka yang saat ini memegang kekuasaan serta memegang modal.
Penguasa, oleh rakyat diberi kewenangan mengatur negara, termasuk mengurangi kecurangan dalam bentuk penggerogotan kekayaan negara yang terkenal istilah korupsi.
Seruan rakyat harus bangkit memerangi korupsi merupakan salah satu bukti, bahwa penguasa saat ini impoten. Lho, diberi mandat penuh, sekarang malah balik kanan.
“Koruptor itu ilangono Pak Presiden, kuwi tugas sampean. Ojo malah ngajak (kongkonan) aku (rakyat), piye to sampean ki?”
Lucu, dengan teori yang mana kok rakyat didorong-dorong harus memberantas korupsi? Saya coba jabarkan sedikit Pak Presiden, bahwa korupsi itu berkitan dengan teori managemen masuk dan keluarnya uang negara.
Pengelola uang negara adalah pemerintah, bukan rakyat. Jadi cukup jelas, yang bertugas memberantas korupsi bukan rakyat. Kalau rakyat diminta memberantas korupsi, yang terjadi adalah revolusi sosial.
Penulis: Agung Sedayu