WONOSARI, KAMIS KLIWON-Pagelaran wayang kulit, tidak bisa lepas dari ephos Maha Barata dan Ramayana. Ki Heri Nugroho, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Gunungkidul, keluar dari kebiasaan. Dia memainkan wayang fabel (hewan) mengungkap perilaku buruk manusia.
Sindiran, biasa saja dilakukan di dalam panggung Maha Barata dan Ramayana, tetapi sebatas disisipkan. Sangat berbeda dengan pakeliran wayang fabel.
Cerita sengaja diambil dari kehidupan nyata, tidak ada yang ditutup-tutupi. Tokoh wayang fabel adalah hewan penghuni hutan. Mereka digambarkan berperilaku layaknya manusia.
Kancil Wicaksono, lakon yang dimainkan Ki Heri Nugroho Minggu (31/10) di Balai Padukuhan Trimulyo 1, Desa Kepek, Kecamatan Wonosari menarik perhatian penggemar wayang kulit.
Bukan hanya karena Ki Heri Nugroho trampil dalam memainkan sabet, tetapi jalan cerita yang dipilih sangat dekat dengan suasana hati penggemar wayang.
Kancil, tokoh sentral dalam pagelaran malam itu, berniat menuntaskan ilmu. Dia meninggalkan Negeri Gebang Tinatar berguru kepada Kanjeng Nabi Sulaiman.
Gebang Tinatar, negeri sejumlah hewan yang aman, selepas kepergian Kancil berubah total. Penghuni hutan berebut kuasa, ingin meduduki kursi kepemimpinan rimba. Konflik, bahkan perang pun tidak dapat dicegah.
Ki Heri Nugroho lihai menyisipkan mosaik karakter hewan seperti yang ditulis mendiang Ki Narto Sabdo dalan gending dolanan Glopa-Glape.
Ular kepengin terbang, katak bermaksud menguasai upas. Yang terjadi bukan kedamaian, melainkan chaos (kecakauan).
Klimak keributan, singa perang habis-habisan dengan harimau. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Kancil melerai, tetapi tidak digubris.
Binatang cerdik itu, demikian Ki Heri Nugroho menggambarkan, mengeluarkan ajian tracak kencono. Singa dan harimau ditendang dan lumpuh.
Peperangan pun mereda, Sang Kancil berniat memperdalam ilmu, tetapi seluruh penghuni hutan keberatan. Mereka meminta, Kancil menjadi sesepuh.
“Saya mau, dengan syarat kalian tidak lagi bertengkar,” tancep kayon, pagelaran selesai.
(Agung)