MIMPI menjadi Bupati Gunungkidul, siapapun orangnya, wajib menguasai tiga bahasa simbol.
Kalau tidak mau, tidak mampu, atau tidak siap, dia akan terserat di belantara birokrasi.
Artinya, dia tidak akan bisa menaklukan para birokrat, tetapi justru ditaklukan oleh mereka.
Artikel ini diilhami baliho di jantung kota Wanasari yang dipasang Ipung, dijepret oleh seseorang dan dibagikan di grup WhatsApp.
Bahasa pertama yang harus dikuasai Bupati berupa bahasa perencanaan yang sistemik berkelindan dengan pusat pemerintahan di Jakarta.
Bahasa kedua berupa bahasa teknis penjabaran program di dalam RPJMD yang tidak boleh renggang serambut pun dengan RPJMN dan RPJMD Propinsi.
Bahasa ketiga adalah bahasa eksekusi. Bupati harus paham dana yang berasal dari kas negara itu dinikmati oleh masyarakat, atau banyak yang digerogoti oleh sebagian oknum birokrasi yang membantunya.
Dalam pengertian luas dia harus mampu mengaitkan eksekusi dana dengan fakta sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, sejarah, dan lain sebagainya.
Sunaryanta tahun 2013 yang kala itu pangkatnya masih kapten juga seperti Mas Ipung, mimpi ingin menjadi Bupati Gunungkidul. Dan tahun 2021 mimpi Sunaryanta menjadi kenyataan.
Tiga bahasa simbol dimaksud, tidak di performen Bupati Sunaryanta saat ini? Dalam ilmu ketatanegaraan jelas bahwa tiga bahasa tersebut tidak pernah diajarkan. Tetapi mari dicermati bersama. Untuk sementara saya menganggap Sunaryanta menguasai tiga bahasa simbol di atas tetapi tidak total.
Ide dasar dan ide besar Bupati Sunaryanta adalah Gunungkidul Membangun yang digambarkan dalam orkestra pagelaran Gangsa Agung Mataram. Sebanyak 1.431 padukuhan, ibarat pangkon gamelan pentas di satu panggung yang hanya dipimpin oleh satu orang pengendang yaitu Sunaryanta.
Hal itu dia jelaskan, bahwa dirinya adalah seorang pengendang yang mengendalikan ritme gamelan mulai dari demung, saron, bonang, kenong, gong, gender, slenthem, suling, siter, hingga rebab.
Tetapi masuk kantor hari pertama 6-2-2021 Sunaryanta kaget karena berhadapan dengan ribuan wiyaga yang sudah sangat fasih mengendalikan tukang kendang (Bupati) dengan protokoler normatif.
Penampilan Bupati Sunaryanta diatur oleh para birokrat, bukan Sunaryanta yang mengatur mereka, karena Sunaryanta tidak secara ful menguasai tiga bahasa simbol.
Akibatnya lucu dan fatal. Ketika Kepala OPD PUPR Irawan Jatmika mengeksekusi Patung Tukang Kendhang Bunderan Siyono dan menggantinya dengan Patung Tobong Gamping yang alasannya tidak masuk akal Bupati Sunaryanta manut- manut saja.
Kalau menguasai tiga bahasa simbol seharusnya Sunaryanta marah, atau setidaknya melarang rencana penggantian itu.
Tukang Kendang di Bunderan Siyono itu ada sejarah yang kebetulan sekaligus cocok denganc filosofi dan personifikasi kepemimpinannya.
Tukang Kendang mau dibuang oleh Irawan Jatmika kok Sunaryanta malah ketawa-ketiwi. Gangsa Agung Mataram yang menjadi tekad budaya yang disematkan dalam dada Sunaryanta dibongkar pembantunya, kok tidak tersinggung?
Fakta terkini, karena Sunaryanta tidak inten dalam memahami tiga bahasa simbol, maka terkesan dia didikte oleh para eksekutiv lini eselon.
Soal mendirikan patung Tobong Gamping banyak usulan masuk dari masyarakat. *bersambung
(Bambang Wahyu)