KENDURI, kenduren, atau selametan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya perjamuan makan untuk meminta perlindungan dan berkah. Kenduren biasa dilakukan masyarakat Jawa sebelum Islam masuk ke Nusantara.
Perjamuan makan dalam bahasa yang lebih sederhana adalah sinonim dengan memberi makan. Didalami dengan lebih cermat, memberi makan kepada sesama yang memang membutuhkan, menurut Al-Qur’an justru dianjurkan.
Kenduren dilaksanakan di setiap puncak upacara adat seperti misalnya memperingati orang yang telah meninggal, midodareni calon penganten, menyongsong tanggal 1 Sura, Rasulan dan lain sebagainya.
Dalam acara kenduren ada dua hal cukup menarik. Pertama, ikrar kenduren yang menggunakan bahasa Jawa itu tersirat pola berpikir mitis.
Menurut Van Puerson, berfikir mitis merupakan tabiat manusia yang mengakui, bahwa di balik alam raya ini ada subyek gaib yang tidak kasat mata.
Berfikir mitis untuk sebagian masyarakat dianggap syirik. Mereka lupa, ini hal kedua yang menarik di dalam kenduren, doa yang dibaca bercorak Islami. Di dalam Kenduren itu ada akulturasi budaya.
Ikrar kenduren selalu berbahasa Jawa. Arahnya ditujukan kepada yang mbaureksa (menjaga alam / pemilik alam).
“Sedaya ubaranpe menika kangge ngaturi sedrkah memule dateng engkang ngripta lan ngreksa dinten pepitu pekenan gangsal, wuku tigang dasa, sasi rolas, tahun wolu, windu sekawan,” demikian ikrar Modin dalam memimpin Kenduren.
Diterjemahkan secara bebas: Sesaji ini disediakan untuk memberi makan kepada pencipta dan penjaga hari yang tujuh, pasaran lima, wuku tiga puluh, bulan dua belas, tahun delapan, dan windu yang jumlahnya empat.
Begitu ikrar atau ujub selesai dibaca, kemudian doa yang diucapkan Pak Modin bercorak Islami, walaupun kadang lidah Jawa sangat kental, “Alohuma Saliwa Salim nggala,” dan seterusnya.
Dalam kenduren dengan demikian terjadi akulturasi budaya, berbentuk proses sosial, bahwa manusia Jawa sangat permisif terhadap kebudayaan Islam.
Mereka menerima dan mengolah tradisi islam tanpa menyebabkan hilangnya budaya setempat.
Dari sudut pandang Al-Qur’an, kenduren yang puncak eksekusinya adalah memberi makan kepada sesama umat, tidak dilarang.
Memberi makan pada sesama dalam situasi ‘arang pangan’ seperti terjadi di Indonesia tahun 1960-an sangatlah berarti. Tetapi dalam kondisi murah pangan memberi makan ke sesama kehilangan arti, sehingga kenduren yang memuat ajaran mulia dianggap tidak penting.
(Bambang Wahyu)