WONOSARI-SELASA KLIWON | Warga Gunungkidul hampir 100% mengaku orang Jawa, tetapi sebagian besar lupa ilmu kejawen. Kalau ada yang mencoba setia dengan kejawaannya justru dianggap kuno, primitif di tengah gemebyarnya kemajuan teknologi. Bahkan ada yang menuding sebagai pengguna ilmu ngawurisme. Melestarikan budaya dinilai menyimpang, dan cederung tidak dipercaya. Cicit HB-7 dalam hal Weton angkat bicara.
Orang yang mengaku modern, meski pikirannya salah dianggap benar karena kebetulan dia berkuasa.
Hari dan pasaran lahirnya Kabupaten Gunungkidul dalam tembang yang diciptakan Ki Sadipan tertulis Jumat Legi bulan Dzulhijah 1758 berbarengan dengan 27 Mei 1931.
Penanggalan tersebut tidak pernah ada yang melakukan koreksi sampai Gunungkidul berusia 191, meskipun itu salah.
Ada aplikasi kalender Weton Jawa di https://play.google.com/store/apps/details?id=jawa.weton.kal yang bisa untuk melacaknya, tetapi tidak dimanfaatkan.
Tahun 1758 yang disebut Ki Sadipan adalah Wulan Besar berdasarkan kalender Jawa, sementara penyebutan Dzulhijah adalah kalender Hijriyah angka tahunnya 1246, bukan 1758. Ki Sadipan salah sebut, tetapi tidak ada yang melakukan koreksi.
Menggunakan aplikasi Weton Jawa, Kalender Masehi tanggal 27 Mei 1831 jatuh pada Selasa Legi, bukan Jum’at Legi. Tahun Hijriah jatuh pada 15 Dzulhijah benar dan 15 Besar menurut penanggalan Jawa.
Kekeliruan tersebut berlarut hingga Gunungkidul berusia 191. Para pemerhati Kebudayaan tidak berbuat apa-apa.
Menurut Raden Mas Kukuh Hestriyasning (Romo Aning) kekeliruan tersebut seyogyanya dibenahi.
“Ya harus diluruskan, sebab Weton punya makna, untuk melihat karakter, sifat, watak guna merencanakan kehidupan yang akan datang. Kalau benar Seloso (3) legi (5)= 8, ini angka golong-gilig. Menandakan sifat, karakter, watak nyawiji greget sengguh tan keno mingkuh, tumuju wiwara harja kamulyaning kawula (pintu gerbang kemuliaan untuk masyarakat),” tulis Rama Aning 24-5-2022. (Bambang Wahyu)