WONOSARI, Minggu Kliwon-Geger Nonanto soal korupsi e-KTP, diduga merugikan negara Rp 2,3 triliun, membuat elektabilitas Partai Golkar anjlok. Airlangga Hartarto diangkat menjadi Ketua Umum dalam munaslub Golkar diharap bisa memulihkan kepercayaan publik. Tokoh muda dari Golkar tempo dulu ini bertekad memenangkan 50% pilkada serentak 2018 seraya bersih-bersih kader.
Diberbagai kesempatan jajaran DPP Partai Golkar mengumbar suara, tidak kesulitan menemukan pengganti Ketum Setya Novanto yang terjerat hukum. Baik Nurdin Halid (Ketua Harian) maupun Idrus Marham (Plt Ketum) menyebutkan, di Golkar terlalu banyak kader yang secara kualitatif siap mengisi kekosongan Ketum.
Fakta politis berbeda, Golkar gamang alias enggan kehilangan kekuasaan di level eksekutif, maka diangkatlah Airlangga Hartarto menjadi Ketum.
Ada sementara pengamat menyebut, Golkar napak tilas kekuatan lama, karena Airlangga adalah anak Hartarto, mantan menteri pada era pemerintahan Soeharto. Hal ini dibungkus dengan jargon Golkar bangkit.
Komitmen kedua, Golkar menyerahkan sepenuhnya kepada Ketum baru untuk melakukan restrukturisasi organisasi dengan cara bersih-bersih. Hal ini bisa dimaknai kader yang tidak bersih bakal disingkirkan.
Upaya bersih-bersih (mencari tokoh yang tidak berbau korupsi) bukan perkara mudah. Nurdin Halid yang terang-terangan mengaku pernah tersandung hukum, oleh Golkar dibiarkan pulang kampung mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Selatan.
Golkar bangkit dan Golkar bersih masih harus dibuktikan, bukan hanya diucapkan. Redaksi