DALAM kehidupan sehari-hari, Kalender Jawa, secara teknis masih digunakan oleh warga Gunungkidul Sementara penciptanya, yaitu Sultan Agung hampir tidak dikenal atau bahkan dilupakan.
Kalender Jawa tersebut merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Oleh sebab itu Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas melindunginya.
Fandy, penulis artikel dari kelompok Gramedia menyatakan, bahwa abad enam belas (1613-1645) pada masa Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung, masyarakat Jawa mengunakan kalender Masehi, Kalender Hijriyah, sekaligus Kalender Saka (Hindu).
Untuk kepentingan masyarakat dan Kerajaan ketiga sistem penanggalan itu dikolaborasikan sehingga upacara adat kerajaan seiring dengan kalender Hijriyah, juga tidak bertentangan dengan penanggalan Hindu.
Kalender Jawa terkenal dengan sebutan Kalender Sultan Agung, tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa, terutama yang berdomisili di pedesaan Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Mereka masih mengenal pasangan hari yang dianggap sakral, seperti Hanggoro Kasih (Selasa Kliwon) Soma Manis (Senin Legi) dan seterusnya.
Bertolak dari konsep Sapta Wara (hitungan hari yang jumlahnya tujuh) Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu, masyarakat yakin itu didasari hitungan peredaran matahari (Syamsiyah).
Sementara Panca Wara (hitungan pasaran lima) perputarannya didasarkan pada peredaran bulan (Komariyah).
Budaya tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dengan kalender Jawa yang diciptakan Raja Mataram Ke-3, Sultan Agung.
Masyarakat masih sangat kental memandang bahwa Sukra Kasih atau Jemuah Kliwon adalah pasangan hari dan pasaran gawat, tetapi mereka tidak paham mengapa pasangan hari tersebut dianggap sakral.
Sekolah-sekolah modern yang menggunakan kurikulum berganti-ganti, konon tidak mengajarkan materi serupa itu.
Tetapi Kepala Dinas Pendidikan GunungkIdul Nunuk Setyawati meluruskan, bahwa berdasarkan pencermatan Kasi Kurikulum perhitungan hari dan pasaran masih disingung, walaupun tidak secara khusus.
“Tetapi bukan dalam mata pelajaran bahasa daerah, melainkan dalam mata pelajaran IPA,” ujar Nunuk Setyawati, 29-1-2023.
Alasannya, pada mapel IPA diajarkan peristiwa pergerakan bulan dan matahari. Dengan demikian menurutnya secara umum menyinggung kalender syamsiah dan Komariyah, hanya tidak sampai ke materi Kalender Jawa.
Ketua Dewan Kebudayan Gunungkidul CB Supriyanto bahkan menyodorkan fakta di masa Dinas Kebudayaan dikendalikan Agus Kamtono, di Balai Desa Sodo pernah diadakan sarasehan soal Kalender Sultan Agung.
“Saya lupa tanggal dan bulan pelaksanaannya, tetapi Disbud DIY selaku penyelenggara menghadirkan 30 orang dipandu Dr. Purwadi, membedah Kalender Sultan Agung,” ungkap CB Supriyanto.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Dinas Kebudayaan Gunungkidul Sabarisman menyatakan, Kundha Kabudayan konsisten melestarikan kebudayaan Jawa.
“Hanya saja Kalender Sultan Agung pelestariannya tidak diprogram secara khusus,” paparnya.
Di luar pernyataan para pemangku kepentingan Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
(Bambang Wahyu)