POLITIK, di alam demokrasi merupakan alat untuk meraih kekuasaan. Demokrasi yang dijalankan di Indonesia, menurut Presiden Soeharto adalah Demokrasi Pancasila, bukan demokrasi ala Eropa, Amerika, dan yang lain.
Demokrasi Pancasila oleh sebab itu menurutnya sama dengan demokrasi yang ber-Ketuhanan.
Hal itu tambah dipertegas dalam konstitusi Pasal 29 Ayat 1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tetapi penerapan Demokrasi Pancasila di Indonesia tidak begitu jelas. Yang ditemui dalam percaturan politik sehari-hari justru demokrasi ala barat.
Menjelang Pemilu 2024, di kalangan sebagian elit politik Indonesia makin sering melakukan deviasi atau penyimpangan. Artinya, tingkah laku politik mereka jauh dari Demokrasi Pancasila.
Tingkah politik nereka muncul di media sosial, termasuk ditulis oleh koran-koran on-line. Penyimpangan tingkah politik tersebut sangat menyolok.
Kebebasan berpendapat secara konstitutif memang boleh. Ngomong apa saja tidak dilarang, tetapi jika kehilangan kontrol, omong asal ngomong efeknya memicu perpecahan.
Dewasa ini, sebagian elit politik Indonesia sepertinya bebas mengumbar prasangka, bebas mencari-cari kesalahan pihak lain, juga bebas menggunjing satu terhadap yang lain.
Padahal cukup jelas berdasarkan Pancasila, setiap manusia beriman dipagari aturan tajam: Apakah ada di antara kamu suka memakan daging saudara kamu yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Lihat Al-Hujurat Ayat 12.
Contoh terbaru: Si Suta mempunyai hutang kepada Naya Rp 50 milyar rupiah. Hal itu dijadikan materi perbincangan di media sosial.
Apa motif membicarakan hal tersebut tidak jelas, kecuali hanya untuk menjatuhkan nama baik Suta, karena Suta bermaksud mencalonkan diri menjadi presiden Indonesia 2024.
Contoh lain: Si Dadap menguliti habis-habisan program pemerintah dengan tendensi agar rakyat membenci penguasa.
Itu langkah politik yang tidak beradab, karena tidak usah ditunjukkan pun rakyat akan menilai, sepanjang program pemerintah memang tidak berjalan semestinya.
Hidup di negeri Pancasila, rasanya tidak begitu nyaman, karena sebagian elit politik menyimpang dan bertingkah laku kumuh.
(Bambang Wahyu)