Mati 30 Tahun, Sekarang Bangkit Kembali

800

TEPUS, Senin Pon— Group kesenian wayang orang Krido Budoyo dari Padukuhan Gunung Kacangan, Desa Sumber Wungu, Kecamatan Tepus  mulai dihidupkan kembali setelah selama 30 tahun lebih, dalam posisi mati suri.

Group yang dipimpin Purwo Siswanto ini mulai digarap ulang tahun 2015 atas saran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunungkidul. Krido Budoyo, lahir sekitar tahun 80-an. Pemainnya memang tua-tua, karena rata-rata berumur di atas 50-an, bahkan ada yang hampir 80 tahun. Eloknya  semangat mereka luar biasa.

“Selain saran dari pemerintah, kami  ingin menghidupkan dan mengembangkan wayang orang yang  lama terkubur,” kata Purwo Siswanto, 8/5/17.

Di Kabupaten Gunungkidul, menurut Purwo Siswanto, hampir tidak ada lagi kelompok wayang orang yang eksis, pasalnya anak muda  sudah beralih kesenian lain seperti jathilan yang kini mulai booming.

Untung Dana Keistimewaan (Danais)  mensuport budaya,  sehingga kesenian wayang orang bisa bernafas.  Dinas Kebudayaan juga mendorong, agar masyarakat menggali potensi budaya lokal. Masyarakat dan pelaku budaya mulai bangkit.

“Beberapa kendala dihadapi Group Wayang Orang Krido Budoyo adalah  peralatan pendukung serta banyaknya pemain yang kelewat uzur. Perlu regenerasi kalau kesenian wayang orang ingin lestari, imbuh Purwo.

Sejarah menunjukkan, wayang orang pertama kali muncul pada abad ke-18 di Solo. Penggagasnya Kanjeng Gusti Pangeran Aario Adipati (KGPAA) Mangkunegoro I.

Seni pertunjukan ini terinspirasi  seni drama yang berkembang di Eropa. Tahun 1899, Sri Susuhunan Paku Buwono X meresmikan Taman Sriwedari sebagai taman hiburan untuk umum. Mulai saat itulah ada pementasan pertunjukan wayang orang.

Wayang Orang Sriwedari pernah mengalami masa keemasan tahun 1960–1970. Namun sejak tahun 1985, ketika tayangan-tayangan televisi mulai menjamur, penonton wayang orang semakin berkurang, bahkan  punah. Apalagi sejak banyaknya channel televisi swasta yang memudahkan orang memilih hiburan. Keberadaan wayang orang praktis mati suri. Tontonan adiluhung sarat tuntunan berganti dengan sinetron dan film yang  tidak mendidik. W. Joko Narendro




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.